Aku suka hujan. Dan aku yakin banyak orang yang juga menyukainya. Dulu, pernah ku mengadakan survey amatiran di kelasku. Dari 38 anak termasuk aku, Cuma dua teman yang tidak menyukai hujan.
Banyak
cerita tentang hujan. Tentang Thalles yang bahkan sempat men-judge bahwa air
adalah sumber dan asal mula kehidupan, tentang inspirasi para penulis novel
atau lagu galau yang juga berjatuhan bersama rerintik air hujan, tentang
gemericiknya yang seolah berubah di telinga pendengar menjadi lagu nina bobo
yang menyenyakkan, juga tentang tetesan airnya yang ketika jatuh pada wajah seorang
yang tengah menangis, akan mampu meleburkan air matanya.
Apa
kamu juga suka hujan? Apa yang kau sukai darinya?
Kalau
aku… Kalau kamu bertanya padaku mengapa aku mencintai dan selalu menanti
kehadirannya, itu karena aku suka pertir yang ada padanya. Aku suka suara gemuruhnya
yang menggetarkan hati. Aku suka
menikmati getar ketakutan yang sontak saja berdebar-debar dalam dada ketika
menyambut hadirnya. Tentu saja aku pun sependapat denganmu, jika kamu menganggap
petir itu menakutkan. Dan memang itulah yang membuatku jatuh cinta padanya.
Aku
akan menjerit histeris ketika tiba-tiba saja guruhnya menghantam kesadaranku. “Allahu
Akbar!”, pekikku. Maka kalimat-kalimat yang selalu saja keluar basahi sepasang
bibirku hanyalah kalimat seprti: “Subhanallah…”, “Laailaa ha illallah.”, atau
kalimat pujian lainnya.
Di
setiap petir mengiringi hujan yang turun ke bumi, yang ada dalam dadaku
hanyalah perasaan takut. Suara itu benar-benar menampar ruang sadarku. Berteriak
pada hati yang lupa pada Tuhannya, menamparnya berkali-kali hingga yang terucap
hanya dzikrullah.
Sore ini, Cirebon basah diguyur
lebatnya hujan. Suara rintikan airnya terdengar begitu anggun menetes pada
setiap hamparan yang dijatuhinya. Dan #jderrr!!!, gemuruh petir tak lepas
menjadi pengawal, jangan-jangan ada hamba yang mengutuk keberkahan hujan.
Jangan-jangan ada hamba yang lupa bersyukur pada nikmat yang diberi Tuhannya,
bahkan ketika nikmat itu secara gamblang sedang mengalir di sisinya. Maka
#jderrr!!, bukankah suara itu yang selalu mampu memaksa bibirmu untuk mengucap puja-pujian
pada-Nya?. Aku lebih suka menikmatinya sendirian di kamar, dalam ketakutan yang
damai.