"Teh, orang tua teteh gak ke sini, cuma ngirim-ngirim gitu aja yaa?" Tanya seorang teman ngaji sekelasku.
Aku hanya nyengir menanggapinya.
Setiap malam Jumat di sini ramai. Ikhwan sudah hafal benar jadwal Abah stay cool di rumah. Orangtua santri yang juga Ikhwan banyak yang tak ingin ketinggalan. Sambil tabarruk pada Abah, sekalian mengengok putra-putrinya di sini.
Tak ku sangka aku secemburu ini. Seringnya aku mengangis seorang diri. Bahkan ketika manaqib, di saat semua hati yang mencintai Abah berduyun tak peduli jarak, justru orangtuaku masih terhanyut sibuk menghitung-hitung rezeki.
"Huhuhu... Aku dibuang ke sini..." Celetuk seorang kawan, yang juga santri baru.
Lagi-lagi aku cuma bisa nyengir mendengarnya. Hampir semua santri Sirnarasa adalah korban emosi orangtuanya. Ikhwan-akhwat yang begitu dalamnya mencintai Abah, yang dirinya tak lagi punya kesempatan untuk selalu stay jismani bersama Abah, maka dikirimlah putra-putri tercinta untuk hidup bersama orang tercinta.
Sedangkan aku...
Hanya bisa merintih... semoga esok masih bisa selalu bersamamu, Abah.