Headlines News :
Home » » Fiksi Mini - Purnama dan Cinta

Fiksi Mini - Purnama dan Cinta

Written By Anis Khairunnisa on Rabu, 24 Agustus 2016 | 05.54



"Purnama itu indah, yaa?" Gumamku girang, sambil mengamati setiap sudut cahaya yang dipantulkan purnama.

"Iya, indah. Sayangnya tak setiap malam ada. Purmana harus menunggu bulan tanggal empat belas dulu." Mayang menimpali. Gadis itu membenarkan posisi duduknya, sambil sesekali membenahi gaun yang terkadang terjepit kursi goyang di belakangku.

Aku berbalik, mendekatinya. Kusunggingkan senyumanku yang padanya masih menempel sisa-sisa guyuran cahaya purnama, dan membungkuk menghadap gadis itu. "Itu karena dia indah." Bisikku.

"Sabit juga indah." Mayang tak mau kalah. Matanya melotot, kemudian ditariknya pangkal hidungku. "Haha... Sabit juga indah, Nis." Kelak Mayang lagi. Kali ini suaranya memecah keheningan malam. Gadis itu tertawa renyah sekali. Namun tawanya, aku tak yakin itu tawa kecintaan.

Aku mengangkat tubuhku. Sambil ku amati lengkungan senyum yang gadis itu ciptakan di bibirnya.

"Tapi aku lebih suka purnama. Cahayanya bulat sempurna. Tak ada ruang kosong di sana, tidak seperti saat sabit." Ungkapku datar.

Mayang bangkit dari kursi goyangnya, dan kini hanya tersenyum dengan sebelah bibirnya.

"Menanti purnama itu lama. Butuh satu bulan hanya demi menatap kesempurnaan bentuk rembulan yang hanya satu malam itu. Sabit pun indah, dan dia lebih lama." Mayang memicingkan manik matanya pada purnama di atas sana.

"Mayang, kenapa sampai sekarang kau masih saja sendiri?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan.

Gadis itu tersentak, berbalik menoleh padaku.

"Kamu sendiri? Kau juga masih sendiri, kan? Kenapa?"

"Tentu saja aku menunggu purnama." Jawabku sederhana.

"Purnama yang mana?" Tanyanya semakin tak mengerti. "Menunggu sosok lelaki yang sempurna? Seorang pangeran ksatria yang menunggangi kuda putihnya seperti dalam mimpi yang sering kau ceritakan padaku itu kah, maksudmu? Pangeran yang sempurna itu tak pernah ada, Nis. Dan pangeran berkuda putihmu, dia hanya fantasimu saja. Kau gila." Mayang terbahak, dan kali ini aku benar-benar tak mengerti tawa macam apa yang sedang coba dia sampaikan. Aku hanya balas sunggingan kecil dari kedua sudut bibirku.

"Baiklah. Sekarang giliranmu. Alasanmu apa?" Lanjutku.

Mayang terdiam sejenak, sebelum ahirnya manik itu kembali menghadang pandanganku.

"Aku masih cinta." Suaranya terdengar parau. Kali ini aku yang terbahak.

"Rupanya kamu juga menunggu purnama, yaa." Terkaku. Mayang mengernyitkan dahinya. Aku meraih bahunya.

"Mayang... Purnama itu indah. Bukan cahayanya, melainkan karena penantianmu selama satu bulan demi menatap kesempurnaan bentuk rembulan. Sama seperti cinta. Aku dan kamu sama-sama menunggu cinta yang purnama. Saat dia yang kau cinta kemudian kembali dalam pelukanmu. Saat dia yang aku cinta, yang entah siapa dirinya... Pada saatnya nanti menemui Bapakku untuk menghalalkan aku. Itulah cinta yang purnama." Aku tersenyum. Entah sejak kapan gadis itu sudah ada saja dalam dekapku.

"
Sabit juga indah. Namun pilihan kita sejak awal adalah purnama. Bersabarl!, menanti itu menyakitkan. Apalagi saat sabit mempesonakan mata, saat cinta-cinta yang tak selayaknya silih berganti menggoda keyakinan. Purnama itu indah. Seperti hiasan langit malam ini. Tuhan kan pertemukan kita dengan kekasih hati, oleh sebab penantian kita yang membuat perjumpaan nanti terasa indah. Maka ketika purnama melambai, sambutlah ia dengan kesucian. Dengan kehausan kita diguyur cahaya lembut rembulan. Bukan sabit atau apa. Hanya purnama." Kurasakan Mayang semakin mengeratkan pelukannya.

 "Purnama itu ternyata indah, ya, Nis. Mungkin, itu sebabnya tidak pada sembarang waktu dia datang. Tunggulah ia hingga waktu yang tepat!, hingga Tuhan pertemukan dua rindu berbaur haru." Ucap Mayang lirih.

Aku mengangguk pasti.
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Anda pengunjung ke:

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Rainbow After Tears - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template