"Purnama itu indah, yaa?" Gumamku girang, sambil mengamati setiap sudut cahaya yang dipantulkan purnama.
"Iya,
indah. Sayangnya tak setiap malam ada. Purmana harus menunggu bulan
tanggal empat belas dulu." Mayang menimpali. Gadis itu membenarkan
posisi duduknya, sambil sesekali membenahi gaun yang terkadang terjepit
kursi goyang di belakangku.
Aku
berbalik, mendekatinya. Kusunggingkan senyumanku yang padanya masih
menempel sisa-sisa guyuran cahaya purnama, dan membungkuk menghadap
gadis itu. "Itu karena dia indah." Bisikku.
"Sabit
juga indah." Mayang tak mau kalah. Matanya melotot, kemudian ditariknya
pangkal hidungku. "Haha... Sabit juga indah, Nis." Kelak Mayang lagi.
Kali ini suaranya memecah keheningan malam. Gadis itu tertawa renyah
sekali. Namun tawanya, aku tak yakin itu tawa kecintaan.
Aku mengangkat tubuhku. Sambil ku amati lengkungan senyum yang gadis itu ciptakan di bibirnya.
"Tapi aku lebih suka purnama. Cahayanya bulat sempurna. Tak ada ruang kosong di sana, tidak seperti saat sabit." Ungkapku datar.
Mayang bangkit dari kursi goyangnya, dan kini hanya tersenyum dengan sebelah bibirnya.
"Menanti
purnama itu lama. Butuh satu bulan hanya demi menatap kesempurnaan
bentuk rembulan yang hanya satu malam itu. Sabit pun indah, dan dia
lebih lama." Mayang memicingkan manik matanya pada purnama di atas sana.
"Mayang, kenapa sampai sekarang kau masih saja sendiri?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Gadis itu tersentak, berbalik menoleh padaku.
"Kamu sendiri? Kau juga masih sendiri, kan? Kenapa?"
"Tentu saja aku menunggu purnama." Jawabku sederhana.
"Purnama
yang mana?" Tanyanya semakin tak mengerti. "Menunggu sosok lelaki yang
sempurna? Seorang pangeran ksatria yang menunggangi kuda putihnya
seperti dalam mimpi yang sering kau ceritakan padaku itu kah, maksudmu?
Pangeran yang sempurna itu tak pernah ada, Nis. Dan pangeran berkuda
putihmu, dia hanya fantasimu saja. Kau gila." Mayang terbahak, dan kali
ini aku benar-benar tak mengerti tawa macam apa yang sedang coba dia
sampaikan. Aku hanya balas sunggingan kecil dari kedua sudut bibirku.
"Baiklah. Sekarang giliranmu. Alasanmu apa?" Lanjutku.
Mayang terdiam sejenak, sebelum ahirnya manik itu kembali menghadang pandanganku.
"Aku masih cinta." Suaranya terdengar parau. Kali ini aku yang terbahak.
"Rupanya kamu juga menunggu purnama, yaa." Terkaku. Mayang mengernyitkan dahinya. Aku meraih bahunya.
"Mayang... Purnama itu indah. Bukan cahayanya,
melainkan karena penantianmu selama satu bulan demi menatap
kesempurnaan bentuk rembulan. Sama seperti cinta. Aku dan kamu sama-sama
menunggu cinta yang purnama. Saat dia yang kau cinta kemudian kembali
dalam pelukanmu. Saat dia yang aku cinta, yang entah siapa dirinya...
Pada saatnya nanti menemui Bapakku untuk menghalalkan aku. Itulah cinta
yang purnama." Aku tersenyum. Entah sejak kapan gadis itu sudah ada saja
dalam dekapku.
"Sabit juga indah. Namun pilihan kita sejak awal adalah purnama. Bersabarl!, menanti itu menyakitkan. Apalagi saat sabit mempesonakan mata, saat cinta-cinta yang tak selayaknya silih berganti menggoda keyakinan. Purnama itu indah. Seperti hiasan langit malam ini. Tuhan kan pertemukan kita dengan kekasih hati, oleh sebab penantian kita yang membuat perjumpaan nanti terasa indah. Maka ketika purnama melambai, sambutlah ia dengan kesucian. Dengan kehausan kita diguyur cahaya lembut rembulan. Bukan sabit atau apa. Hanya purnama." Kurasakan Mayang semakin mengeratkan pelukannya.
"Purnama
itu ternyata indah, ya, Nis. Mungkin, itu sebabnya tidak pada sembarang
waktu dia datang. Tunggulah ia hingga waktu yang tepat!, hingga Tuhan
pertemukan dua rindu berbaur haru." Ucap Mayang lirih.
Aku mengangguk pasti.