Headlines News :
Home » » Cerpen Islami - Hujan di Malam Kenangan

Cerpen Islami - Hujan di Malam Kenangan

Written By Anis Khairunnisa on Rabu, 24 Agustus 2016 | 05.59




Untaian rindu mengalun syahdu. Terhempas diri dalam balutan sorban kasih Sang Illahi. Menjalar ke dalam aliran darah di setiap detakan jantung, membuat tubuh selalu bergetar dahsyat setiap kali nama Agung itu disebut.

Allah..

Sudah hampir tuntas aku menjalaniusiaku yang ke-19 tahun, namun hingga saat ini, hati dan diriku  masih utuh milik Rabb penciptaku.
***

Gundukan bara di perapian itu masih berkobar gagah. Menjadi satu-satunya sumber kehangatan yang menyelimuti ruang aula Pondok Pesantren Ali Imron, oleh hujan angin lebat yang sudah hampir lima jam singgah di tanah kelahiranku. Ini adalah hujan kali pertama yang mengguyur Kota Udang, setelah berbulan-bulan lamanya mengalami musim kemarau panjang. Biasanya hujan pembuka tidak pernah selama ini, namun ternyata  Allah mengirimkan rahmat-Nya yang lebih banyak di tanah kelahiranku ini, dengan butir-butir langit itu.

Sekarang adalah malam Jumat. Tahlilan sehabis Maghrib, serta sholat Isya berjamaah tadi, menandakan bahwa pengajian malam initelah libur total hingga besok Ashar. Biasanya waktu seperti ini digunakan oleh para orangtua santri untuk menjenguk putra-putrinya. Atau, santri itu sendiri yang akan pulang, jika jarak rumahnya cukup dekat dengan pesantren, atau  jugauntuk sekedar jalan-jalan me-refresh-kan otak setelah satu minggu penuh bergelut dengan pengajian dan hafalan.
***

Aku masih mengenakan mukenah sutra putih dan terhanyut dalam alunan dzikir sholawatku, seusai sholat Isya berjamaah beberapa jam yang lalu, ketika kusadari hampir seluruh santri putri tengah duduk melingkar di sekitar perapian, dan bercanda ria menghangatkan suasana. Sesekali aku mendengar gelak tawa mereka. Ah!, bagiku tetap saja kobaran itu tidak kan lebih hangat jika dibandingkan dengan pelukan Asma Rabb-ku. Aku menunduk. Kembali kulanjutkan kencan malam jumatku..

 “Mba Dylla..”Panggil seseorang, menyentuh bahuku.

Aku menengok. “Iya, Fira… Kenapa?”Aku tersenyum, ketika yang kudapati itu adalah wajah polos adik angkatku yang sepertinya sudah ngantuk berat.Ia berdiri mematung di belakangku. Memasang wajah lelahnya, kemudian kutarik pelan tangannya. Dan seolah mengerti isyaratku, ia segera duduk.

Fira adalah anak yatim-piatu, sama sepertiku. Ayahnya meninggal dalam kecelakaan kereta api, sepulang bekerja, ketika beliau baru mengetahui kehamilan istrinya. Sedang  Ibunya meninggal ketika melahirkannya.

Mungkin itu yang membuat Fira tak merasa canggung denganku.Usianya baru 15 tahun, namun kami seperti sepasang sahabat karib yang kembali bertemu setelah sekian abad terpisahkan.Padahal kami baru kenal sekitar 3 bulan yang lalu. Abah Yayi Zaenal Muttaqin yang telah mengajaknya dari panti asuhan “Kasih Illahi”, untuk memperdalam aqidah di pesantren Ali Imron ini.Dan Fira ternyata menanggapi maksud Abah tersebut dengan riang.Setelah kuperhatikan sikapnya dari hari ke hari, minatnya untuk memperdalam ilmu agama sangat tinggi.

Fira memang tidak cepat tanggap dalam mencerna pengertian dari Ustadz-Ustadzah yang kerap kali menyisipkan beragam bahasa planet yang tak dimengertinya, ketika menerangkan Nahwu-Sorof. Namun ia selalu antusias dalam  pengajian dan hapalan, sekalipun ia sering dihukum karena tidak lancer ketika setor hafalan.

Istimewanya,  Fira akan mendekati siapa saja, agar ia bisa mendapatkan penjabaran yang menurutnya akan lebih mudah untuk dimengerti oleh otaknya.Mungkin itu salah satu yang juga merupakan alasan, kenapa kami begitu akrab.Fira kerap memintaku menyimakkan bacaan Al-Qur’annya di waktu senggang. Dan sepertinya ia mulai bisa menerima kehadiranku, dan lebih merasa nyaman dengan sosokku.

 “Mba udah makan belum? Tadi Fira liat mba buka puasa cuma minum air putih aja.” Ujarnya setengah berbisik.“Makan yuuk, Mba?”Ajaknya kemudian.Aku tersenyum kecil.“Mba dzikirnya udah dulu, kasihan sama badan.”Lanjutnya mulai menarik-narik lenganku.

 “Iya, Fira.. Sebentar lagi yaa..”Jawabku pendek.

 “Fira udah ngantuk nih, Mba. Bobo yuuk!. Eh, tapi Mba makan dulu gih..”Ujarnya sambil berkali-kali menguap.

 “Fira bobo duluan aja ya?” tawarku menyelonjorkan kaki, memberikannya tempat untuk tidur sementara.


Ia menggeleng. Seperti tak mau mengalah, ia tetap menungguiku, namun ahirnyapun ia merebahkan tubuh mungilnya di pangkuanku. Kubiarkan ia berbaring di sana, sambil sesekali kuelus lembut rambutnya. Ahirnyaia tertidur.
***

 Pandanganku tiba-tiba memburam.Fikiranku mulai melayang membumbung jauh ke masa lalu, kemudian mendarat pada suatu malam Jumat yang sangat dingin, di mana akulah yang sedang berada di dalam pelukan hangat seorang wanita.

Malam itu hujan lebat diiringi gertakan gemuruh petir yang saling mengadu suara.Aku terbangun dari mimpi indahku. Segera kuberlari menghampiri Ibu dan kupeluk ia. Kulihat beliau tengah menengadah di atas sajadah.Beberapa titik-titik bening terjatuh dari kedua sudut matanya.

Aku dirangkulnya dalam-dalam.Namun semakin erat aku memeluknya, maka semakin pula suara petir itu saling menyahut semakin keras, seolah terbahak menertawakan seorang bocah tujuh tahunan yang ketakutan sedang bersembunyi di balik pelukan wanita renta.

“Tidurlah, Dylla..”Ucap Ibu menenangkanku sambil mengelus-elus lembut kepalaku.Kulirik wajahnya.Jelas terlihat selarik kecemasan dibalik senyuman itu.Namun kerutan di dahinya, serta sebercak luka bakar yang merusak pipi dan separuh wajahnya sewaktu menyelamatkanku dari lemparan kembang api bocah lelaki nakal saat malam takbiran itu, tidak sedikitpun mengurangi kesan cantiknya sebagai seorang wanita yang telah melahirkanku.

“Tapi Dylla takut, Bu. Petir itu akan memukul Dylla.”Aduku manja memeluk lebih erat wanita renta yang penuh kasih sayang itu.

 “Dylla jangan takut, ya..Kan ada Allah yang selalu menjaga kita. Melindungi Ibu, Dylla, dan Mas Didin. Allah tidak pernah tidur dalam menjaga kita, Nak..”Suaranya bergetar.

 “Allah bodyguard dong, bu?”Tanyaku polos.

“Iya. Bahkan lebih hebat dari itu..”Jawab ibu membungkuk dan berbisik di telingaku.Aku tak menjawab. Kupahami kata demi kata yang dijelaskan Ibu, sambil terhanyut  menikmati sentuhan-sentuhan lembut tangan wanita mulia itu.
***

Mentari pagi menyengat tak secantik biasanya. Jam Angry Bird Merah di tembok kamarku sudah menunjuk angka 7.30 pagi. Namun sinar tajam sang surya belum juga masuk melalui cela-cela jendela, dan membuka paksa mataku serta mengguyur seluruh tubuhku dengan cahayanya.

Ya. Pagi ini begitu mundung.Tidak seperti biasanya.Mungkin karena hujan lebat semalam, sehingga Mentaripun ikut bermalasan sepertiku yang masih berada di dalam pelukan Ibu.

Kutengok wanita yang masih  memelukku itu. Ia masih tertidur dalam balutan mukenah, seusai berkencan dengan Rabbnya, dalam Tahaddjud semalam..

Biasanya Ibu membangunkanku saat hari masih hitam remang, untuk memaksaku sholat subuh. Namun hingga mentari telah menyinari taman belakanhg rumahpun, beliau belum juga tersentak bisikanku.

“Ibu.. Ibu bangun, Bu..Kita belum sholat subuh.Nanti Allah marah. Sholat sama Dylla, yuuk Bu..”Aku mengelus-elus wajah ibu, dan berkali-kali mengajaknya untuk membuka mata.Namun tak ada jawaban.

 Aku mendekat pada wajah ibu yang memucat.Mulai membisikkan pada telinganya banyak kata-kata indah yang selalu dilantunkan ibu seusai sholat.Ibu tetap tak bergeming.Tubuhnya dingin.Tak lagi sehangat malam tadi. Tapi lihat!, bibirnya tersenyum. Tanpa larik kecemasan seperti yang semalam aku lihat.
***

“Tok..tok..tok..” Aku tersentak.

“Assalamu’alaikum..”Sapa sebuah suara dari luar.

“Suara itu..Itu kan Mas Didin.”Gumanku mengingat-ingat pemilik suara khas itu.

Aku segera berlari menuju pintu depan dan mengintip dari balik jendela. Benar saja. Ternyata ada seorang lelaki gagah berusia 16 tahunan yang sangat aku kenal tengah berdiri memamerkan seutas senyumannya di luar sana. Itu Mas Didin, kakak pertamaku dan satu-satunya.

Dia sekolah sambil mesantren.Katanya, mesantren itu seru.Punya banyak ilmu dan teman.Setiap hari Jumat dan hari libur juga boleh pulang. Terkadang aku merengek minta ikut mesantren sama Masku, tapi ibu selalu bilang “nanti”

Aku membalas senyumannya, membuka pintu, kemudian merangkulnya.Selalu seperti itu.

“Assalamu’alaikum, adikku yang manis..”Sapa Mas Didin mengulang lagi salamnya yang belum terjawab olehku.Ia menggendongku dan mencubiti gemas pipiku.

“Wa’alaikumussalam, Mas Didin yang baik hati.Mana coklatnya?”Palakku tersenyum lebar sambil menjulurkan kedua tanganku, menagih janji coklat yang akan selalu dibelikan Mas Didin setiap kepulangannya dari pesantren.

“Owalaa….” Pekik Mas Didin menepuk dahinya. “Masya Allah, Dyll. Mas lupa. Maaf ya..Tadi Mas langsung pulang, gak mampir ke Mbok Iyem dulu. Hehe, maaf yaa, adikku yang manis.” Mas Didin nyengir, dan semakin mencubiti daguku yang sedang cemberut!

 “Oh iya. Ibu sedang apa?” Lanjutnya.Aku menggeleng.

 Mas Didin menurunkanku dari pelukannya, kemudian kutarik lengannya menuju kamarku.

 “Itu..”Aku menunjuk pada sosok seorang wanita yang kupanggil Ibu itu.

 “Ibu masih bobo, Mas..”Ujarku setengah berbisik di telinga Mas Didin.

 Mas Didin mematung sejenak memadangi sosok kaku Ibu, dan seperti tak menghiraukan peringatanku, iajustru menghampiri wanita yang tengah tertidur pulas di atas sajadah itu.

 Ia membungkuk, duduk di samping tubuh Ibu. Kemudian jemarinya mengusap-usap lembut wajah Ibu.

 “Assalamu’alaikum, Bu..”

Ibu masih diam. Ia tak menjawab.Mas Didin mendekat pada wajah Ibu, kemudian berbisik lembut.

 “Ibu.. Ini Didin, Bu. Didin pulang, jenguk Ibu sama Dylla. Ibu bangun, Bu..”

 Kudengar suara Mas Didin semakin melemah. Tubuhnya bergetar, dan ia mulai terisak.

“Ibu….”

“Mas, sudah. Biarin Ibu bobo sebentar lagi, Ibu pasti capek banget semalaman meluk Dylla” Kataku polos. Mas Didin berpaling memangdangku. Jelas terlihat butiran air bening yang menggantung di kedua sudut mata Masku.Ia memelukku. Erat sekali..

 “Dylla… Ibu sudah pergi, Dyll..”Isaknya.

“Stt..Ibu lagi bobo, Mas jangan berisik. Nanti ibu bangun..”

 Mas Didin melepaskan pelukannya dariku. Sejenak ia menatapi muka polosku, kemudian berlari menjauh dariku sambil menangis sejadi-jadinya. Aku menghampiri Ibu, lalu kucium keningnya.

 “Badan Ibu dingin sekali. Ibu pasti kedinginan ya..”Ujarku sambil memeluk Ibu.Berharap dapat menghangatkan tubuh Ibu.
***

 “Dylla.. Dylla gadis kecil yang manis.. Bangun sayang, ayo bangun..”Sebuah suara yang tak kukenal dan juga belaian-belaian lembut yang asing itu berkali-kali menggangguku dari tempat-tempat yang indah ini.

Aku berada di sebuah taman bunga yang sangat indah. Beragam aneka bunga berwarna-warni yang dihinggapi kupu serta kumbang kencana. Batuan-batuan besar yang terhampar di sana, membuat taman ini sungguh indah, tertata rapi. Tak lama, aku melihat Ibu yang sedang berdiri di atas awan.Ibu mendekat lalu menciumku.Setelah itu kulihat Ibu tersenyum sambil melambai-lambaikan tangannya.

“Ibu..Ibu mau ke mana?”Aku berlari-lari kecil mengejar Ibu. Tapi awan yang ditunggangi Ibu semakin menjauh, jauh, ..

 “Ibu.. Dylla mau ikut Ibu!..” Jeritku.Aku terbangun.Tak ada Ibu.Yang ada hanya wanita asing berjilbab merah hati di sebelahku yang sejak tadi mengelus-elus rambutku, dan seorang lelaki paruh baya yang mengenakan baju serba putih dengan peci putih.Mereka sedang tersenyum ke arahku. Ah!, siapa mereka ini?

“Ibu.. Mas Didin..”Rengekku ketakutan.

 “Masmu ada di luar, Nak..Sebentar Abah panggilkan.”Ucap lelaki yang menyebut dirinya ‘Abah’ itu, sambil melangkah cepat ke luar kamar.

Aku hanya terdiam.Hingga ahirnya sebuah suara menyadarkanku.

 “Dylla!..”

 Aku menoleh. “Mas Didin!..” Ia memelukku. Matanya sembab.

 “Mas..Tadi Dylla ketemu Ibu.Ibu pergi naik awan. Ibu dada sama Dylla, tapi Ibu gak bilang mau ke mana.” Tuturku menceritakan kejadian yang baru saja kualami dalam mimpi.

Mas Didin menunduk.Satu lagi butiran bening menetes jatuh mengenai pipiku.
“Mas nangis?”

 “Dylla mau mesantren sama Mas?” Tanyanya lirih, mengabaikan pertanyaan  yang telah lebih dulu kuajukan.

 “Mau!”Jawabku cepat. Raut Mas Didin berubah penuh senyum.Dua orang asing itu juga tersenyum.

 “Tapi kan sama Ibu belum boleh, Mas..”Sesalku.“Ibu sekarang di mana Mas?”Lanjutku.Mereka semua saling bertatapan.Tak lama, wanita berjilbab itupun mendekat.

 “Dylla.. Ibu Dylla sekarang sedang dalam perjalanan yang  jauuuuuh sekali. Tapi tadi Ibu Dylla sudah menitipkan Dylla pada Ummi, kok. Jadi sekarang Dylla boleh mesantren kaya Mas Didin di pondokannya Abah sama Ummi. Ya sayang,”

 “Tapi Ibu kok gak bilang sama Dylla? Dylla kan mau ikut sama…”

“Loh, bukannya tadi Dylla cerita kalau Ibu sudah pamit sama Dylla, ya?” Potongnya cepat.

“Iya sih. Tapi kan..”Aku terdiam.“Jadi Ibu sudah pergi?”Kutengok raut Mas terkasihku.

 “Sudah.”Tegas Mas Didin meyakinkan.

 “Kapan Ibu pulang, Mas?”

 “Ibu tidak akan pulang, Manis.Kita mesantren dulu sampe pinter. Nah, kalau sudah pinter nanti, kita yang akan menyusul Ibu.” Ucap Mas Didin menggenggam jemariku.

 “Benarkah, Mas?” Pekikku sumringah.Mas Didin mengangguk cepat. “Wah.. Kalau begitu Dylla musti pinter dulu dong, kaya Ibu. Perjalanan kan panjang. Kata Ibu, orang bodoh itu pasti akan tersesat di jalan. Dylla gak mau tersesat. Dylla mau ketemu lagi sama Ibu. Dylla harus pinter, Mas. Mas juga!”Lirikku pada saudara laki-lakiku itu.

 Mas Didin Nyengir. “Iya, Dylla dan Mas harus pinter!. Biar bisa ketemu sama Ibu lagi di sana. Dan Dylla musti pinter, biar tau kalau kebanyakan makan coklat itu bisa membuat sakit gigi, dan giginya jadi bolong. Kalau udah bolong, gigi Dylla akan jadi istananya para kuman. Kalau udah gitu, siap-siap aja deh tiap detikgiginya nyut - nyut - nyut..haha” Ledek Mas Didin mengacak-acak rambutku.

 Aku cemberut. “Iya deh, Mas...”

 “Ibu..Dylla izin berangkat mesantren, ya. Kalau Dylla sudah pinter nanti, Dylla janji deh bakal nemuin Ibu di sana. Di asramanya Abah Zaenal dan Ummi Laeli, Dylla gak bakal nakal kok bu. Dylla janji. Do’ain Dylla dan Mas Didin terus, ya bu.. Dylla sama Mas Didin sayang banget sama Ibu.” Batinku.
***

“Mba.. Mba Dylla!.”

Fira memanggilku sambil sesekali menepuk lembut lenganku.Ia membuatku tersentak dari lamunan panjang. 

“Eh, iya Fira.Kenapa?”

“Mba nglamunin apa sih? Dari tadi Fira panggil-panggil gak jawab!.”Lagak Fira sok ngambek.Ditekukkan kedua tangannya di dada, dan dimonyong-monyongkannya bibir mungil itu.

Aku tersenyum.“Mba Cuma lagi inget sama Ibu aja, kok.”

Cahaya wajah Fira berubah seketika.  “Wah..Ibu ya? Fira juga kangen sama Ibu, Mba. Sayangnya Fira gak tau wajah Ibu kaya apa..”Ia menunduk.

“Tenang aja Fira. Suatu hari nanti Fira pasti ketemu sama Ibu.” Hiburku.

“Tapi Ibu Fira kan udah meninggal, Mba..”

“Ibu Mba juga.” Potongku cepat.

“Trus gimana caranya biar bisa ketemusama Ibu?” Fira menunduk.Sepasang matanya kulihat mulai basah.

Aku tersenyum.“Tentu bisa. Fira yang akan menjemput mereka. Menjemput Ayah dan Ibu Fira. Tapi perjalanan akan sangaaaat panjang. Jadi Fira harus menyiapkan bekal yang banyak untuk perjalanan menemui Ibu nanti.”

“Iyyakah?”Kedua bola mata itu kembali berbintang.“Bekal apa itu, Mba?”

“Ilmu, sayang. Fira harus pinter biar gak tersesat nemuin Ibu.”

“Tapi Fira bahkan gak tau alamat Ibu sekarang.”Ia menunduk.

“Trus buat apa dongFira punya Allah?”Ia mendelik.”Makanya Fira pelajarin Ilmunya Allah, biar Allah mau nuntun Fira buat ketemu sama Ibu” Lanjutku. Kulihat Fira mengangguk penuh keyakinan. Kurangkul ia dalam-dalam. “Allah tidak akan meninggalkan kita, Fira.Allah tak pernah tidur untuk menjaga kita.”
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Anda pengunjung ke:

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Rainbow After Tears - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template