Allah..
Sudah
hampir tuntas aku menjalaniusiaku yang ke-19 tahun, namun hingga saat
ini, hati dan diriku masih utuh milik Rabb penciptaku.
***
Gundukan
bara di perapian itu masih berkobar gagah. Menjadi satu-satunya sumber
kehangatan yang menyelimuti ruang aula Pondok Pesantren Ali Imron, oleh
hujan angin lebat yang sudah hampir lima jam singgah di tanah
kelahiranku. Ini adalah hujan kali pertama yang mengguyur Kota Udang,
setelah berbulan-bulan lamanya mengalami musim kemarau panjang. Biasanya
hujan pembuka tidak pernah selama ini, namun ternyata Allah
mengirimkan rahmat-Nya yang lebih banyak di tanah kelahiranku ini,
dengan butir-butir langit itu.
Sekarang
adalah malam Jumat. Tahlilan sehabis Maghrib, serta sholat Isya
berjamaah tadi, menandakan bahwa pengajian malam initelah libur total
hingga besok Ashar. Biasanya waktu seperti ini digunakan oleh para
orangtua santri untuk menjenguk putra-putrinya. Atau, santri itu sendiri
yang akan pulang, jika jarak rumahnya cukup dekat dengan pesantren,
atau jugauntuk sekedar jalan-jalan me-refresh-kan otak setelah satu
minggu penuh bergelut dengan pengajian dan hafalan.
***
Aku
masih mengenakan mukenah sutra putih dan terhanyut dalam alunan dzikir
sholawatku, seusai sholat Isya berjamaah beberapa jam yang lalu, ketika
kusadari hampir seluruh santri putri tengah duduk melingkar di sekitar
perapian, dan bercanda ria menghangatkan suasana. Sesekali aku mendengar
gelak tawa mereka. Ah!, bagiku tetap saja kobaran itu tidak kan lebih
hangat jika dibandingkan dengan pelukan Asma Rabb-ku. Aku menunduk.
Kembali kulanjutkan kencan malam jumatku..
“Mba Dylla..”Panggil seseorang, menyentuh bahuku.
Aku
menengok. “Iya, Fira… Kenapa?”Aku tersenyum, ketika yang kudapati itu
adalah wajah polos adik angkatku yang sepertinya sudah ngantuk berat.Ia
berdiri mematung di belakangku. Memasang wajah lelahnya, kemudian
kutarik pelan tangannya. Dan seolah mengerti isyaratku, ia segera duduk.
Fira
adalah anak yatim-piatu, sama sepertiku. Ayahnya meninggal dalam
kecelakaan kereta api, sepulang bekerja, ketika beliau baru mengetahui
kehamilan istrinya. Sedang Ibunya meninggal ketika melahirkannya.
Mungkin
itu yang membuat Fira tak merasa canggung denganku.Usianya baru 15
tahun, namun kami seperti sepasang sahabat karib yang kembali bertemu
setelah sekian abad terpisahkan.Padahal kami baru kenal sekitar 3 bulan
yang lalu. Abah Yayi Zaenal Muttaqin yang telah mengajaknya dari panti
asuhan “Kasih Illahi”, untuk memperdalam aqidah di pesantren Ali Imron
ini.Dan Fira ternyata menanggapi maksud Abah tersebut dengan
riang.Setelah kuperhatikan sikapnya dari hari ke hari, minatnya untuk
memperdalam ilmu agama sangat tinggi.
Fira
memang tidak cepat tanggap dalam mencerna pengertian dari
Ustadz-Ustadzah yang kerap kali menyisipkan beragam bahasa planet yang
tak dimengertinya, ketika menerangkan Nahwu-Sorof. Namun ia selalu
antusias dalam pengajian dan hapalan, sekalipun ia sering dihukum
karena tidak lancer ketika setor hafalan.
Istimewanya,
Fira akan mendekati siapa saja, agar ia bisa mendapatkan penjabaran
yang menurutnya akan lebih mudah untuk dimengerti oleh otaknya.Mungkin
itu salah satu yang juga merupakan alasan, kenapa kami begitu akrab.Fira
kerap memintaku menyimakkan bacaan Al-Qur’annya di waktu senggang. Dan
sepertinya ia mulai bisa menerima kehadiranku, dan lebih merasa nyaman
dengan sosokku.
“Mba
udah makan belum? Tadi Fira liat mba buka puasa cuma minum air putih
aja.” Ujarnya setengah berbisik.“Makan yuuk, Mba?”Ajaknya kemudian.Aku
tersenyum kecil.“Mba dzikirnya udah dulu, kasihan sama badan.”Lanjutnya
mulai menarik-narik lenganku.
“Iya, Fira.. Sebentar lagi yaa..”Jawabku pendek.
“Fira udah ngantuk nih, Mba. Bobo yuuk!. Eh, tapi Mba makan dulu gih..”Ujarnya sambil berkali-kali menguap.
“Fira bobo duluan aja ya?” tawarku menyelonjorkan kaki, memberikannya tempat untuk tidur sementara.
Ia
menggeleng. Seperti tak mau mengalah, ia tetap menungguiku, namun
ahirnyapun ia merebahkan tubuh mungilnya di pangkuanku. Kubiarkan ia
berbaring di sana, sambil sesekali kuelus lembut rambutnya. Ahirnyaia
tertidur.
***
Pandanganku
tiba-tiba memburam.Fikiranku mulai melayang membumbung jauh ke masa
lalu, kemudian mendarat pada suatu malam Jumat yang sangat dingin, di
mana akulah yang sedang berada di dalam pelukan hangat seorang wanita.
Malam
itu hujan lebat diiringi gertakan gemuruh petir yang saling mengadu
suara.Aku terbangun dari mimpi indahku. Segera kuberlari menghampiri Ibu
dan kupeluk ia. Kulihat beliau tengah menengadah di atas
sajadah.Beberapa titik-titik bening terjatuh dari kedua sudut matanya.
Aku
dirangkulnya dalam-dalam.Namun semakin erat aku memeluknya, maka
semakin pula suara petir itu saling menyahut semakin keras, seolah
terbahak menertawakan seorang bocah tujuh tahunan yang ketakutan sedang
bersembunyi di balik pelukan wanita renta.
“Tidurlah,
Dylla..”Ucap Ibu menenangkanku sambil mengelus-elus lembut
kepalaku.Kulirik wajahnya.Jelas terlihat selarik kecemasan dibalik
senyuman itu.Namun kerutan di dahinya, serta sebercak luka bakar yang
merusak pipi dan separuh wajahnya sewaktu menyelamatkanku dari lemparan
kembang api bocah lelaki nakal saat malam takbiran itu, tidak sedikitpun
mengurangi kesan cantiknya sebagai seorang wanita yang telah
melahirkanku.
“Tapi Dylla takut, Bu. Petir itu akan memukul Dylla.”Aduku manja memeluk lebih erat wanita renta yang penuh kasih sayang itu.
“Dylla
jangan takut, ya..Kan ada Allah yang selalu menjaga kita. Melindungi
Ibu, Dylla, dan Mas Didin. Allah tidak pernah tidur dalam menjaga kita,
Nak..”Suaranya bergetar.
“Allah bodyguard dong, bu?”Tanyaku polos.
“Iya.
Bahkan lebih hebat dari itu..”Jawab ibu membungkuk dan berbisik di
telingaku.Aku tak menjawab. Kupahami kata demi kata yang dijelaskan Ibu,
sambil terhanyut menikmati sentuhan-sentuhan lembut tangan wanita
mulia itu.
***
Mentari
pagi menyengat tak secantik biasanya. Jam Angry Bird Merah di tembok
kamarku sudah menunjuk angka 7.30 pagi. Namun sinar tajam sang surya
belum juga masuk melalui cela-cela jendela, dan membuka paksa mataku
serta mengguyur seluruh tubuhku dengan cahayanya.
Ya.
Pagi ini begitu mundung.Tidak seperti biasanya.Mungkin karena hujan
lebat semalam, sehingga Mentaripun ikut bermalasan sepertiku yang masih
berada di dalam pelukan Ibu.
Kutengok
wanita yang masih memelukku itu. Ia masih tertidur dalam balutan
mukenah, seusai berkencan dengan Rabbnya, dalam Tahaddjud semalam..
Biasanya
Ibu membangunkanku saat hari masih hitam remang, untuk memaksaku sholat
subuh. Namun hingga mentari telah menyinari taman belakanhg rumahpun,
beliau belum juga tersentak bisikanku.
“Ibu..
Ibu bangun, Bu..Kita belum sholat subuh.Nanti Allah marah. Sholat sama
Dylla, yuuk Bu..”Aku mengelus-elus wajah ibu, dan berkali-kali
mengajaknya untuk membuka mata.Namun tak ada jawaban.
Aku
mendekat pada wajah ibu yang memucat.Mulai membisikkan pada telinganya
banyak kata-kata indah yang selalu dilantunkan ibu seusai sholat.Ibu
tetap tak bergeming.Tubuhnya dingin.Tak lagi sehangat malam tadi. Tapi
lihat!, bibirnya tersenyum. Tanpa larik kecemasan seperti yang semalam
aku lihat.
***
“Tok..tok..tok..” Aku tersentak.
“Assalamu’alaikum..”Sapa sebuah suara dari luar.
“Suara itu..Itu kan Mas Didin.”Gumanku mengingat-ingat pemilik suara khas itu.
Aku
segera berlari menuju pintu depan dan mengintip dari balik jendela.
Benar saja. Ternyata ada seorang lelaki gagah berusia 16 tahunan yang
sangat aku kenal tengah berdiri memamerkan seutas senyumannya di luar
sana. Itu Mas Didin, kakak pertamaku dan satu-satunya.
Dia
sekolah sambil mesantren.Katanya, mesantren itu seru.Punya banyak ilmu
dan teman.Setiap hari Jumat dan hari libur juga boleh pulang. Terkadang
aku merengek minta ikut mesantren sama Masku, tapi ibu selalu bilang
“nanti”
Aku membalas senyumannya, membuka pintu, kemudian merangkulnya.Selalu seperti itu.
“Assalamu’alaikum,
adikku yang manis..”Sapa Mas Didin mengulang lagi salamnya yang belum
terjawab olehku.Ia menggendongku dan mencubiti gemas pipiku.
“Wa’alaikumussalam,
Mas Didin yang baik hati.Mana coklatnya?”Palakku tersenyum lebar sambil
menjulurkan kedua tanganku, menagih janji coklat yang akan selalu
dibelikan Mas Didin setiap kepulangannya dari pesantren.
“Owalaa….”
Pekik Mas Didin menepuk dahinya. “Masya Allah, Dyll. Mas lupa. Maaf
ya..Tadi Mas langsung pulang, gak mampir ke Mbok Iyem dulu. Hehe, maaf
yaa, adikku yang manis.” Mas Didin nyengir, dan semakin mencubiti daguku
yang sedang cemberut!
“Oh iya. Ibu sedang apa?” Lanjutnya.Aku menggeleng.
Mas Didin menurunkanku dari pelukannya, kemudian kutarik lengannya menuju kamarku.
“Itu..”Aku menunjuk pada sosok seorang wanita yang kupanggil Ibu itu.
“Ibu masih bobo, Mas..”Ujarku setengah berbisik di telinga Mas Didin.
Mas
Didin mematung sejenak memadangi sosok kaku Ibu, dan seperti tak
menghiraukan peringatanku, iajustru menghampiri wanita yang tengah
tertidur pulas di atas sajadah itu.
Ia membungkuk, duduk di samping tubuh Ibu. Kemudian jemarinya mengusap-usap lembut wajah Ibu.
“Assalamu’alaikum, Bu..”
Ibu masih diam. Ia tak menjawab.Mas Didin mendekat pada wajah Ibu, kemudian berbisik lembut.
“Ibu.. Ini Didin, Bu. Didin pulang, jenguk Ibu sama Dylla. Ibu bangun, Bu..”
Kudengar suara Mas Didin semakin melemah. Tubuhnya bergetar, dan ia mulai terisak.
“Ibu….”
“Mas,
sudah. Biarin Ibu bobo sebentar lagi, Ibu pasti capek banget semalaman
meluk Dylla” Kataku polos. Mas Didin berpaling memangdangku. Jelas
terlihat butiran air bening yang menggantung di kedua sudut mata
Masku.Ia memelukku. Erat sekali..
“Dylla… Ibu sudah pergi, Dyll..”Isaknya.
“Stt..Ibu lagi bobo, Mas jangan berisik. Nanti ibu bangun..”
Mas
Didin melepaskan pelukannya dariku. Sejenak ia menatapi muka polosku,
kemudian berlari menjauh dariku sambil menangis sejadi-jadinya. Aku
menghampiri Ibu, lalu kucium keningnya.
“Badan Ibu dingin sekali. Ibu pasti kedinginan ya..”Ujarku sambil memeluk Ibu.Berharap dapat menghangatkan tubuh Ibu.
***
“Dylla..
Dylla gadis kecil yang manis.. Bangun sayang, ayo bangun..”Sebuah suara
yang tak kukenal dan juga belaian-belaian lembut yang asing itu
berkali-kali menggangguku dari tempat-tempat yang indah ini.
Aku
berada di sebuah taman bunga yang sangat indah. Beragam aneka bunga
berwarna-warni yang dihinggapi kupu serta kumbang kencana. Batuan-batuan
besar yang terhampar di sana, membuat taman ini sungguh indah, tertata
rapi. Tak lama, aku melihat Ibu yang sedang berdiri di atas awan.Ibu
mendekat lalu menciumku.Setelah itu kulihat Ibu tersenyum sambil
melambai-lambaikan tangannya.
“Ibu..Ibu mau ke mana?”Aku berlari-lari kecil mengejar Ibu. Tapi awan yang ditunggangi Ibu semakin menjauh, jauh, ..
“Ibu..
Dylla mau ikut Ibu!..” Jeritku.Aku terbangun.Tak ada Ibu.Yang ada hanya
wanita asing berjilbab merah hati di sebelahku yang sejak tadi
mengelus-elus rambutku, dan seorang lelaki paruh baya yang mengenakan
baju serba putih dengan peci putih.Mereka sedang tersenyum ke arahku.
Ah!, siapa mereka ini?
“Ibu.. Mas Didin..”Rengekku ketakutan.
“Masmu
ada di luar, Nak..Sebentar Abah panggilkan.”Ucap lelaki yang menyebut
dirinya ‘Abah’ itu, sambil melangkah cepat ke luar kamar.
Aku hanya terdiam.Hingga ahirnya sebuah suara menyadarkanku.
“Dylla!..”
Aku menoleh. “Mas Didin!..” Ia memelukku. Matanya sembab.
“Mas..Tadi
Dylla ketemu Ibu.Ibu pergi naik awan. Ibu dada sama Dylla, tapi Ibu gak
bilang mau ke mana.” Tuturku menceritakan kejadian yang baru saja
kualami dalam mimpi.
Mas Didin menunduk.Satu lagi butiran bening menetes jatuh mengenai pipiku.
“Mas nangis?”
“Dylla mau mesantren sama Mas?” Tanyanya lirih, mengabaikan pertanyaan yang telah lebih dulu kuajukan.
“Mau!”Jawabku cepat. Raut Mas Didin berubah penuh senyum.Dua orang asing itu juga tersenyum.
“Tapi
kan sama Ibu belum boleh, Mas..”Sesalku.“Ibu sekarang di mana
Mas?”Lanjutku.Mereka semua saling bertatapan.Tak lama, wanita berjilbab
itupun mendekat.
“Dylla..
Ibu Dylla sekarang sedang dalam perjalanan yang jauuuuuh sekali. Tapi
tadi Ibu Dylla sudah menitipkan Dylla pada Ummi, kok. Jadi sekarang
Dylla boleh mesantren kaya Mas Didin di pondokannya Abah sama Ummi. Ya
sayang,”
“Tapi Ibu kok gak bilang sama Dylla? Dylla kan mau ikut sama…”
“Loh, bukannya tadi Dylla cerita kalau Ibu sudah pamit sama Dylla, ya?” Potongnya cepat.
“Iya sih. Tapi kan..”Aku terdiam.“Jadi Ibu sudah pergi?”Kutengok raut Mas terkasihku.
“Sudah.”Tegas Mas Didin meyakinkan.
“Kapan Ibu pulang, Mas?”
“Ibu
tidak akan pulang, Manis.Kita mesantren dulu sampe pinter. Nah, kalau
sudah pinter nanti, kita yang akan menyusul Ibu.” Ucap Mas Didin
menggenggam jemariku.
“Benarkah,
Mas?” Pekikku sumringah.Mas Didin mengangguk cepat. “Wah.. Kalau begitu
Dylla musti pinter dulu dong, kaya Ibu. Perjalanan kan panjang. Kata
Ibu, orang bodoh itu pasti akan tersesat di jalan. Dylla gak mau
tersesat. Dylla mau ketemu lagi sama Ibu. Dylla harus pinter, Mas. Mas
juga!”Lirikku pada saudara laki-lakiku itu.
Mas
Didin Nyengir. “Iya, Dylla dan Mas harus pinter!. Biar bisa ketemu sama
Ibu lagi di sana. Dan Dylla musti pinter, biar tau kalau kebanyakan
makan coklat itu bisa membuat sakit gigi, dan giginya jadi bolong. Kalau
udah bolong, gigi Dylla akan jadi istananya para kuman. Kalau udah
gitu, siap-siap aja deh tiap detikgiginya nyut - nyut - nyut..haha”
Ledek Mas Didin mengacak-acak rambutku.
Aku cemberut. “Iya deh, Mas...”
“Ibu..Dylla
izin berangkat mesantren, ya. Kalau Dylla sudah pinter nanti, Dylla
janji deh bakal nemuin Ibu di sana. Di asramanya Abah Zaenal dan Ummi
Laeli, Dylla gak bakal nakal kok bu. Dylla janji. Do’ain Dylla dan Mas
Didin terus, ya bu.. Dylla sama Mas Didin sayang banget sama Ibu.”
Batinku.
***
“Mba.. Mba Dylla!.”
Fira memanggilku sambil sesekali menepuk lembut lenganku.Ia membuatku tersentak dari lamunan panjang.
“Eh, iya Fira.Kenapa?”
“Mba
nglamunin apa sih? Dari tadi Fira panggil-panggil gak jawab!.”Lagak
Fira sok ngambek.Ditekukkan kedua tangannya di dada, dan
dimonyong-monyongkannya bibir mungil itu.
Aku tersenyum.“Mba Cuma lagi inget sama Ibu aja, kok.”
Cahaya
wajah Fira berubah seketika. “Wah..Ibu ya? Fira juga kangen sama Ibu,
Mba. Sayangnya Fira gak tau wajah Ibu kaya apa..”Ia menunduk.
“Tenang aja Fira. Suatu hari nanti Fira pasti ketemu sama Ibu.” Hiburku.
“Tapi Ibu Fira kan udah meninggal, Mba..”
“Ibu Mba juga.” Potongku cepat.
“Trus gimana caranya biar bisa ketemusama Ibu?” Fira menunduk.Sepasang matanya kulihat mulai basah.
Aku
tersenyum.“Tentu bisa. Fira yang akan menjemput mereka. Menjemput Ayah
dan Ibu Fira. Tapi perjalanan akan sangaaaat panjang. Jadi Fira harus
menyiapkan bekal yang banyak untuk perjalanan menemui Ibu nanti.”
“Iyyakah?”Kedua bola mata itu kembali berbintang.“Bekal apa itu, Mba?”
“Ilmu, sayang. Fira harus pinter biar gak tersesat nemuin Ibu.”
“Tapi Fira bahkan gak tau alamat Ibu sekarang.”Ia menunduk.
“Trus
buat apa dongFira punya Allah?”Ia mendelik.”Makanya Fira pelajarin
Ilmunya Allah, biar Allah mau nuntun Fira buat ketemu sama Ibu”
Lanjutku. Kulihat Fira mengangguk penuh keyakinan. Kurangkul ia
dalam-dalam. “Allah tidak akan meninggalkan kita, Fira.Allah tak pernah
tidur untuk menjaga kita.”