"Merya...
Malam ini purnama memang belum utuh. Tapi ijinkan aku menyempurnakan
cinta kita. Menyatukan dua hati yang selama ini saling mencinta dalam
sebuah ikatan yang indah. Merya, jadilah ibu untuk anak-anakku nanti!,
jadilah pendamping hatiku yang abadi!." bisik sebuah suara lirih namun
terdengar begitu manja.
Di
sebuah taman bunga yang indah, di bawah pancaran cahaya lembut rembulan
yang hampir purnama, tiba-tiba tetes bening jatuh bersamaan dari kedua
sudut mata gadis bergaun merah darah itu. Segera ia usap air matanya
sendiri, menutup erat raut muka dengan telapak tangannya, berbalik, lalu
menatap dalam-dalam lelaki yang memeluknya itu.
"Kita menikah, Rif?" Tanya Merya menyakinkan pengertiannya.
Lelaki
yang ditanya tak menjawab, hanya tersenyum pasti dengan satu anggukan
mengiyakan. Merya balas tersenyum. Sorot matanya berbinar.
Dikecupnya
kening gadis dalam dekapannya itu, lembut, hingga tak terasa tubuh
keduanya menari-nari mesra mengikuti alunan lagu Kaulah Segalanya yang
sengaja diputar oleh Sheriff.
Buaian
khas suara Sammy Simorangkir membuat keduanya terlena. Jatuh terlampau
dalam pada pelukan, hingga tubuh Merya benar-benar terbenam dalam
dekapan lelaki itu. "Kau takkan percaya, kau slalu di hati. Haruskah ku
menangis, tuk mengatakan yang sesungguhnya..."
"Duaaarrr!!.."
Merya tersentak.
Sebuah tembakan terdengar sangat dekat di telinganya. Pelukan Sheriff tiba-tiba menjadi berat, semakin berat, daannn…
"Sheriiiiiiff!!....."
Merya histeris. Sontak menjerit mendapati sebuah peluru yang sukses
menembus mulus pada kekasihnya. Wajah lelaki itu basah, merah, bersimbah
darah, mengucurkan deras cairan segar dari keningnya.
***
Jiwa
dan raga Sheriff Muda kini terpisah. Tubuhnya telah damai di bawah
tanah sana, namun TIDAK!. Jiwa Sheriff tak pernah mati. Ia masih
mendekap Merya dengan cinta. Membelainya dengan sentuhan-sentuhan yang
sama ketika air mata duka merusak senyuman indah Merya-nya.
"Aku mencintaimu, Rif. Aku mencintaimu." rintih Merya datar namun terdengar sangat menyakitkan.
"Kau
pergi setelah memintaku menjadi bagianmu, dan aku mengiyakannya. Aku
mencintaimu, Sheriff... Aku mau ikut denganmu!." Merya berteriak
sekeras-kerasnya. Tak peduli cemasnya orang-orang di balik pintu
kamarnya itu yang semenjak tadi menggedor-gedor sekedar tanyakan 'apa
kamu baik-baik saja, Merya?'. Tapi tentu saja jawabannya adalah TIDAK.
Seorang Merya baru saja kehilangan calon suaminya, lelaki kekasih
kecintaannya. Bagaimana dirinya bisa baik-baik saja?
"Merya,
sayangku. Aku juga mencintaimu. Aku tak pernah meninggalkanmu, Sayang.
Aku akan selalu ada di sampingmu." Ucap sebuah suara membuyarkan lamunan
Merya.
"Sheriff?
Kamukah itu, Sayang?" Merya terperanjat. Dipandanginya sekitar. Hanya
ada lemari besar di sudut kiri ranjangnya, dan sebuah meja rias kecil.
Kosong.
Tubuh Merya lemas sudah. "Aku terlalu mencintaimu, Rif. Suaramu masih saja kudengar jelas."
Merya duduk berpeluk lutut, menyembunyikan wajah, mulai menumpahkan air matanya.
"Tidak, Merya. Aku di sini. Aku tak pernah pergi, Sayangku." ucap suara itu lagi.
Merya mengangkat wajahnya. Dilihat sekelilingnya sekali lagi. Tapi tetap saja, tak ada siapapun.
"Merya.." sapa suara itu.
Gadis itu terdiam. Serpihan partikel gaib beterbangan di sekitarnya, semakin menyatu, semakin membentuk sebuah tubuh yang utuh.
"Sheriiifff!..." Merya histeris menghabur hendak memeluk pada lelaki kekasihnya, namun tubuh itu tak tersentuh.
"Ah..." pekik Merya. "Aku tak bisa memelukmu, Rif?" tanyanya kemudian. Sheriff tersenyum kecil.
"Aku mencintaimu, Merya. Tapi dunia kita berbeda." ujarnya membisik pelan pada ujung telinga Merya.
Gadis itu terisak.
"Aku ingin memelukmu!, aku mau ikut denganmu!." teriak Merya.
"Tidak, sayangku." Sheriff mengusap mesra butir kepedihan pada pipi Merya, meski yang tersentuh hanyalah bayangan.
"Bagaimana kalau aku merindukanmu?" tanya Merya datar.
Sheriff
menatap tajam bola mata kekasihnya, "Aku tak pernah ke mana-mana. Aku
masih di sini dan akan selalu di sini untuk menemanimu. Tak akan pergi,
akan selalu ada di hatimu." bisiknya lagi.
"Merya, di depan ada yang mau bertemu denganmu, tuh." Teriak Vieta dari balik pintu.
Merya
yang mendengarnya, menatap lagi wajah Sheriffnya, meminta persetujuan.
Dan seperti paham maksud wanitanya, Sheriff mengangguk dengan sebuah
senyum kecil. Sedetik kemudian, Merya meraih jaket tebal, berlari
menghambur ke pintu sambil memakai jaketnya.
"Siapa Vi?" tanya Merya begitu saja.
"Pak
polisi ganteng." Goda Vita tersenyum genit. Merya melongo mendengarnya.
"Udah sana, lihat sendiri saja!. Aku mau buatkan minuman." sambung
Vieta mendorong-dorong tubuh Merya.
"Siapa
ya?" Batin Merya tak henti bertanya-tanya, hingga ia tak sadar jika
sesosok lelaki yang menunggu itu telah tegap berdiri menyambut dengan
lekat memandanginya.
"Dengan Nona Merya?" Tanya lelaki berseragam lengkap khas polisi itu hati-hati.
Merya tersenyum simpul, sebelum kemudian ia mengangguk perlahan.
"Ada perlu dengan saya?" Lanjut Merya dengan raut penuh kebingungan.
"Sebelumnya, saya mauuu..." Wajah lelaki itu seketika pucat pasi. "Minta ma'af." Lanjutnya.
"Untuk?" Merya mengernyitkan dahinya semakin tak mengerti.
Si polisi muda menarik napas panjang dan berat, sebelum ahirnya kedua katup bibir itu nampak bergerak.
"Saya turut berduka cita atas kepergian calon suami nona." Ujarnya tertatih-tatih.
Merya
menunduk. Sulit rasanya kehilangan Sheriff-nya. Tapi ia mencoba tetap
melukiskan larik senyuman di bibir, meski yang ada, orang yang melihat
senyuman itu akan merasa teriris juga.
"Terimakasih." jawab Merya. Dirapihkannya jaket yang membalut tubuh itu.
"Sa.. Saya, minta maaf, nona." Pinta si polisi sekali lagi.
Merya
mengangkat wajahnya, menantang mata lelaki itu, seolah berteriak,
"Jangan sekedar meminta maaf, jelaskan padaku apa yang terjadi!."
"Sa..
saya..." Ucapan lelaki itu keluar tak karuan. "Peluruh malam itu, a...
adalah peluru dari senjata saya yang salah sasaran.”
Merya
tersentak. Memicingkan bulatan matanya ke arah lelaki itu. Wajahnya
merah padam. Giginya bergemeletuk, dan kini bola matanya hampir keluar.
"Tapi
saya tidak sengaja. Malam itu tiga orang teroris kabur dari sel. Kami
sedang mengejarnya, sebelum ahirnya... saya menembak." ucapannya
melemah.
"Maafkan saya, Nona." Lanjutnya menundukkan kepala dalam-dalam.
"Iya." respon Merya pendek. Expresinya kini hanya datar. Tak ada yang musti disalahkan, pikirnya.
Namun
Merya tak ubahnya wanita biasa. Dadanya bergemuruh, pikirannya
berkecambuk. Bayangan Sheriff malam itu, senyumannya, candaannya,
dekapannya, bau dadanya, semua membayang dalam otak gadis itu. Kepalanya
terasa berat, terisi penuh oleh semua kenangan tentang Sheriff.
"Nah,
ini dia. Maaf ya, sudah menunggu lama." Celoteh Vieta yang tiba-tiba
muncul dengan menenteng secangkir wedang jahe dan senyuman lebarnya.
"Silahkan diminum." Ucapnya kemudian setelah diletakkan wedang itu tepat
di depan Tamu Merya.
"Vi,
kepalaku tiba-tiba pusing. Kamu temani beliau, ya. Aku mau ke kamar
saja." Suara Merya serak, tangan kirinya memijit-mijit kecil kening.
Vieta mengangguk petanda jawaban 'iya' atas permintaan Merya barusan.
"Kalau perlu obat sakit kepala, di violet kamarku ada, Mer." Vieta menawarkan.
Setelah menjawab 'iya', Merya mulai melangkah meninggalkan mereka. Ayunannya gontai, entah apa yang ia pikirkan.
***
Brukkk!!... Merya menghempaskan tubuh pada ranjang coklat tua yang ada di kamarnya. Dadanya terasa sesak. Dipejamkan kedua kelopak matanya.
Brukkk!!... Merya menghempaskan tubuh pada ranjang coklat tua yang ada di kamarnya. Dadanya terasa sesak. Dipejamkan kedua kelopak matanya.
"Rif.. Sheriff..." Panggil Merya. Matanya yang masih terpejam, kini menitikkan dua manik bening.
Udara
hangat tiba-tiba menyelimuti tubuh gadis itu. Merya terbuai. Bau dada
Sheriff perlahan semakin ia rasakan begitu tajam, begitu dekat dengan
hidungnya. Pelan-pelan Merya membuka matanya.
“Selamat malam, Merya-ku…” Sapa sebuah bayangan yang begitu nyata.
“Kau datang lagi, Riff.” Merya tersenyum. Dihapusnya titik-titik bening yang membentuk anak sungai kecil di kedua sudut matanya.
“Kupenuhi janjiku, Sayang. Aku takkan pergi. Selalu bersamamu, di hatimu.” Bisik Sheriff manja.
“Kenapa kau menangis, Merya?” Tanyanya kemudian.
Merya terdiam. Aliran yang telah mengering itu kembali meruah tak lagi terbendung.
“Tadi ada tamu, Rif.” Terang Merya.
“Siapa?”
Sheriff antusias. Ia duduk tepat mengahadap Merya, tersenyum tenang
menatapi wajahnya, sembari sabar menunggu bibir gadis itu kembali
berucap.
“Orang yang telah membunuhmu.” Jawab Merya datar.
Tatapan Sheriff beruah sayu. Kepalanya perlahan menunduk.
“Apa katanya?”
“Dia minta maaf. Malam itu dia sedang bertugas mengejar tiga tahanan yang kabur. Dia tak sengaja membunuhmu, itu kecelakaan.”
Sheriff mengangkat kembali wajahnya. “Kau maafkan dia, Sayang?”
“Iya.” Jawab Merya pendek. Sheriff tersenyum. “Tapi maafnya tidak bisA mengembalikanmu ke dunia, Rif!” Teriak Merya tiba-tiba.
Sheriff
beranjak dari duduknya. Mengarahkan sedikit kekuatannya untuk
mengangkat sebuah kaset original bertuliskan “Aku Kembali” yang telah
ditanda tangani oleh Sammy Simorangkir, lalu memasukkannya pada DVD.
Sheriff mendekati gadis itu, menjulurkan kedua tangannya pada Merya
seperti hendak memeluk. Suara khas itu kembali membuai, mengalunkan lagu
Kaulah Segalanya yang segera saja membuat Merya merasakan betapa
nyatanya pelukan Sheriff.
“Maafkan saja, Merya!.”Bisik Sheriff lembut. Dimainkannya rambut yang terurai berantakan menghalangi telinga kanan gadis itu.
“Gak semudah itu, Rif.” Berontak Merya lemah.
Sheriff
menuntun gadis itu untuk menutup matanya, kemudian kembali berbisik.
“Stt… Meskipun kini kita berada di dua dunia yang berbeda, tapi hati
kita tetap berada di satu tempat yang sama, Merya. Cinta kita. Dan
apapun yang terjadi, kita akan tetap bersama. Aku dan kamu adalah satu."
Lirih Sheriff.
Merya
mengangkat wajahnya. Menantang tepat di pelupuk mata kekasihnya, bahwa
kini ia tak lagi takut. Merya percaya Sheriffnya akan selalu setia,
hingga kelak dialah yang akan menjemput jiwa Merya terlepas dari
raganya. Merya percaya itu.
Sheriff mundur beberapa langkah. Menatap syahdu wajah Meryanya, sebelum ahirnya kembali tersenyum.
"Meryaku kuat, Meryaku tangguh. Itu sebabnya aku mencintaimu, Merya. I love you." Tegas Sheriff.
"I
love you too, Sheriff." Balas Merya. Ucapannya tertatih menahan tangis.
Terlebih ketika dilihatnya bayangan Sheriff mulai memudar. Partikel
yang membentuk tubuh kekasihnya semakin berhamburan, lalu hilang dari
pandangan.
***