“Bacalah,
bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.” Gumamku menerjemahkan ayat
pertama surat Al-Alaq yang baru saja selesai ku baca tadi. Meski jujur,
terkadang aku tertawa geli setiap kali mengingat begitu nekatku mengambil
program jurusan Bahasa di MAN Buntet Pesantren Cirebon. Kenapa bukan Syari’ah
saja biar semakin banyak Ilmu keislaman yang aku kuasai, dan tentunya agar
keimanan dalam dadaku ini semakin kokoh melekat dalam setiap perbuatanku. Tapi
di sisi yang lainnya, ayat ini selalu mampu menenangkanku.
Iqra’
bismirabbikalladzii kholaq. Bayangkan, perintah yang pertama sekali didapatkan
oleh baginda Muhammad melalui Jibril adalah Iqra’. Iya, membaca. Jadi, alasan
apa lagi yang tidak membuatku bangga menjadi salah satu bagian dari program
jurusan sekeren BAHASA, yang mengajarkan siswanya tentang apa itu membaca, dan
bagaimana cara membaca yang baik dan benar?. “Alhamdulillah…” Gumamku sekali
lagi, sambil ku peluk erat Al-Quran biruku.
Drett
dreettt…
Hp ku
bergetar. Aku sengaja tidak mengaktifkan nadanya, agar tidak mengganggu kencan
syahdu bersama Rabbku di tahajjud sepertiga malam yang damai ini. Kulirik jam
yang menempel di atas pintu kamar. 04.20. “Sebentar lagi Subuh.” Bisikku pada
sunyi. “SMS dari siapa, yaa? Gak biasanya.” lanjutku penasaran, mengalihkan
pandangan pada sebuah benda kecil yang kuletakkan di atas ranjang tidur.
Setelah
meletakkan Al-Quran, jemari meraih benda itu dan segera melihat pesan yang tak
biasa ku dapatkan pada jam-jam seperti ini. Saat membaca pada layar awalnya,
tertulis nama ‘Facebook’ di sana. Itu artinya pesan yang ku dapatkan ini dari
salah satu teman facebook yang mengirim pesan di akunku. Aku memang sengaja
menyalakan SMS pemberitahuan pesan dari facebook, karena biasanya ada saja
teman yang beritahukan atau menanyakan suatu hal penting lewat inbox facebook.
“Mungkin pesan ini penting.” Pikirku, dan segera membukanya.
“M Ibnu
Ramadhan mengirimi anda pesan: Assalamu’alaikum, ukhti Nadia. Balas pesan ini
untuk melanjutkan percakapan.”
“Ibnu?”
tanyaku pada diri, mencoba mengingat-ingat nama Ibnu yang pernah ku kenal.
Namun nihil. Otakku tak juga menemukan secuil pun memory tentang seseorang
bernama M Ibnu Ramadhan.
Saya:
“Wa’alaikumussalam warahmah. Iya, kenapa? Ini Ibnu siapa, yaa?”
Ibnu:
“Lagi ngapain nih? Salam kenal, yaa.” Balasnya tak lebih dari semenit kemudian.
“Waah,
ini sih modus.” waspadaku.
Duuh.
Cowook, cowoook -_- Tanpa pikir panjang, ku lempar HP itu kembali ke atas
ranjang. Aku pun kembali duduk khusyu’ di atas sajadah, untuk kembali larut
terhanyut dalam alunan dzikir menjelang kencan Subuh yang indah.
Ku
lepaskan mukenah yang membalut tubuh. Kencan kali ini telah usai, dan kini
ahirnya ku harus kembali melanjutkan tugas kehambaanku pada Allah untuk menjadi
khalifah di bumi-Nya. Untuk menjaga lingkungan dan alam dari kerusakan, juga
untuk tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa, saling mengingatkan, serta
saling menguatkan dalam penghambaan kepada-Nya. Karena kita manusia memanglah
tempat salah dan lupa. Maka wajar Allah jadikan ummat Islam semuanya
bersaudara. Agar seorang saudara tak sungkan mengingatkan saudaranya yang lupa,
atau melenceng dari jalan Allah.
“Brug!”
Ku hempaskan tubuh di atas ranjang nan empuk. Pagi ini terasa nikmaat sekali.
“Alhamdulillah…” Pujiku bagi-Nya.
Drett…
Dreettt…
Pandanganku
spontan bergerilya mencari sumber getaran, dan sekejap saja benda mungil itu
sudah ada di genggamanku. “4 pesan baru dari facebook”.
“Facebook,
lagi?”
Pesan 1:
“Kok gak dibales, ukhti?”
Pesan 2:
“Ketiduran, yaa?”
Pesan
3: “Banguun, udah Subuh!”
Pesan 4:
“Jangan sampai ketinggalan Subuh, yaa.”
“Iiih,
rempong deh chyn :| Apa cobak maksudnya?” gerutuku mulai merasa terganggu.
Saya:
“Maaf ya. Ibnu punya kepentingan apa inbox saya? Lebih baik langsung sampaikan
saja, saya tidak suka berkomunikasi yang tidak penting dengan lelaki.”
Ibnu: “Oh
iya, afwan ukhti. Ukhti Nadia ini aktivis dakwah, yaa?”
Saya:
“Saya baru di dunia dakwah. Kuliah yang saya masuki ada di fakultas dakwah.
Jadi, setidaknya saya harus menjadi bagian dari dakwah juga. Kenapa memang?”
Ibnu:
“Ana juga aktivis dakwah di kampus, ukh. Kalau ana jurusan Matematika, tapi
ikut UKM Kader Pendakwah Muda Indonesia.”
Saya:
“Bagus dong.”
Ibnu:
“Syukron ^^ Ukhti pernah mesantren?”
Saya:
“Tidak.”
Ibnu:
“Loh, tapi kalau ana liat dari cara ukhti menulis status kok kaya udah pekat
sekali agamanya, yaa?”
Saya:
“Status kan bisa copas.”
Ibnu:
“Kalau balas komentar?”
Saya:
“Saya dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan yang cukup kuat agamanya. Saya hanya
mencoba menyampaikan apa yang saya tau.”
Ibnu:
“Ballighunii walau aayah, ya ukhti?”
Saya:
“Iya. Bukankah al ‘ilmu bilaa ‘amal kasy syajari bila tsamar?”
Ibnu:
“Betul, ukh. Buahnya ilmu itu kemanfaatan bagi orang lain. Yaa, minimal bagi
diri kita sendiri dan keluarga terdekat lah. Kalau ilmu gak diamalkan dan gak
dimanfaatkan, sama aja kaya pohon mangga yang gak pernah tumbuh buahnya.”
Saya:
“Shodaqta, Akh.”
Ibnu:
“Ukhti Nadia sudah sholat Subuh?”
Saya:
“Sudah”
Ibnu:
“Alhamdulillah. Hari ini puasa Senin juga gak nih ukh?”
Saya:
“Tidak.”
Ibnu:
“Wah, kenapa? Puasa Senin-Kamis itu sunnah yang bagus looh, ukh. Nanti coba
yaa.”
Saya:
“Saya sudah mengistiqomahkan puasa Daud, akh. Hari ini tidak ada jadwal.”
Ibnu:
“Masya Allah. Alhamdulillah, semoga tetap diberi keistiqomahan menjalaninya ya.
Insya Allah seaik-baiknya puasa sunnah di sisi Allah adalah sehari puasa dan
sehari tidak (Puasa Nabi Daud as).”
‘Aamiin…’
Bisikku pada sunyi. Berharap doa ini menguap bersama embun pagi dan terus naik
hingga menembus batas langit. “Sepertinya dia lelaki baik.” Bisikku lagi.
Sebuah senyuman tiba-tiba saja melengkung dari kedua sudut bibirku. Aku
tau, kesunyian pasti sedang menertawaiku saat ini. Aku tak pernah merasakan hal
ini. Baru sebentar bercakap saja, seperti kami sudah sekian lama saling
mengenal.
Mungkin
ini yang disebut perkenalan karena Allah. Mencinta dan membenci karena Allah.
Cinta? Hehe, bukankah cinta bukanlah sebuah kosakata yang hanya melukiskan
perasaan dua insan yang sedang diperbudak perasaan? Dalam berkawan pun kita
harus saling mencintai karena Allah. Berkawan dengan orang-orang yang punya
iman di dadanya, agar bisa saling menguatkan di jalan Allah. Juga tegas
meninggalkan mereka yang ketika tersesat tidak mau diberi petunjuk yang Allah
kabarkan dalam firman-Nya, bahkan justru mengajak kita ikut bersamanya; di
jalan kesesatan. Na’udzubillah. Jauhkanlah kami dari kawan seperti itu, Allah…
Beberapa
minggu yang menyenangkan telah berlalu. Komunikasi kami masih tetap berlanjut,
dan dia semakin sering mengirimiku pesan di facebook menanyakan ini dan itu.
Kami juga kerap mengadakan diskusi kecil mengenai suatu problema yang terjadi
di kalangan kaum muda. Aku kagum pada pendalaman agamanya. Dia selalu mampu
melihat suatu masalah dari sudut yang sungguh berbeda. Dia begitu mengerti
tentang social dan Islam. Rasanya, beruntung sekali aku kenal dia. Tapi ada
sesuatu yang seperti mengusikku.
“Selamat
Maghrib. Jangan telat Maghribannya yaa ukhti. Waktu sholat Maghrib itu
sebentar. Ayo bergegas wudhu!”
Nah. Itu
adalah satu-satunya hal yang menurutku sangat janggal. Dia sudah seperti alarm
ibadah saja bagiku. Maghrib diingatkan, Tahajjud pasti kirim inbox, Duha tak
pernah terlewat, sampai tadarus Al-Quran pun dia selalu ngajak. Bagus siih,
Hanya ku rasa ada yang tidak wajar pada sikapnya itu.
Pernah
suatu sore dia kirimkan pesan, memberitahukan padaku bahwa hari itu dia akan
bertanding footsal. Dia minta aku doakan agar timnya menang. Lalu sekira 3 jam
kemudian, dia kembali mengirim pesan, dan dengan antusiasnya menceritakan
setiap detil pentandingan.
Saya:
“Sepertinya tidak semua kegiatanmu harus kau laporkan pada saya, kan?”
Ibu: “Iya
sih. Afwan deh ukh.”
Saya:
“Na’am.”
Ibnu:
“Ukhti marah? Afwan. Ana hanya merasa tidak punya teman selain ukhti. Jadi, ana
terlalu senang membagi kesenangan ana pada ukhti Nadia. Teman ana. Afwan,
ukhti. Kalau ini dirasa mengganggu, ana tidak akan lagi melakukannya.”
Aku tak
membalasnya. Kali ini aku benar-benar bingung harus melakukan apa. Di suatu
sisi, aku senang punya seorang teman yang juga aktivis dakwah. Tapi di sisi
lain, ada perasaan tak biasa yang mulai bercongkol di hati. Aaaa, aku galau!
“Alaa
bidzikrillahi yathmainnul quluub…” Tiba-tiba saja penggalan ayat 28 surat
Ar-Rad itu melintas di ingatanku. Masya Allah. “Apa aku melupakan-Mu, Allah?
Apa sekarang aku jadi jarang mengencani-Mu dalam alunan dzikir yang syahdu?”
“Mungkin
ukhti Nida Astia bisa membantuku. Iya. Dia pasti mau bantu aku menjawab sebab
kegalauan ini. Dia kan Mahasiswi Bimbingan Konseling Islam di IAIN Syekh
Nurjati Cirebon. Dia pasti punya pandangan dan solusi dari sudut yang Islami.”
Mantapku.
Aku
segera mencari kontak bertuliskan nama ‘Nida Astina’, kemudian mengetik: “Assalamu’alaikum, ukhti Asti. Saya mau sharing
ke ukhti, boleh?”
Hanya
selang beberapa menit, di membalas: “Wa’alaikumussalam warahmah, ukhti Nadia.
Boleh, ukhti. Kebetulan saya lagi santai niih. Mau cerita apa?”
Tak ku
siakan kesempatan ini, tombol hijau yang tertuju pada nomernya itu pun ku
peccet. Maka ku ceritakan tentang perubahan yang belakangan ini terjadi pada
kedamaian yang biasanya selalu menyelimuti rasaku. Tentang kapan aku mulai
merasa berbeda, bahkan tentang Ibnu pun aku ceritakan pada ukhti Astia. Tak ada
yang ku sembunyikan darinya.
“Masya
Allah, ukhti. Ukhti gak sadar, kalau ukhti lagi dimodusin sama lelaki itu?”
“Hah?
Modus, ukh? Modus buat apa?”
“Biasalah,
cowok. Ukhti hati-hati, jaman sekarang hasutan setan sudah semakin halus looh
ukht.”
“Maksud
ukhti, yang saya lakukan bersama akhi Ibnu itu termasuk khalawat, kah? Tapi kan
kami hanya membahas seputar agama. Meski terkadang terselip gurauan atau
obrolan ringan lainnya, siih.”
“Hehe,
itulah ukh hebatnya setan. Makanya kita musti pandai-pandai membaca keadaan.
Bukankah sudah jelas Allah melarang kita untuk antara lelaki dan wanita saling
bertemu atau mengobrol berduaan?”
“Ukhti
benar. Harusnya saya lebih bisa membaca gerak-geriknya dari awal. Kalau sudah
jauh begini kan jadi susah.”
“Ukhti Nadia
jangan khawatir. Tidak pernah ada kata terlambat untuk meninggalkan keburukan,
ukh. Gak ada kata terlambat untuk memulai lagi hal baik. Allah suka hamba-Nya
yang bertaubat.”
"Iya,
ukh. Pantas saja perasaan saya terasa runyam. Gak tenang. Ternyata saya memang
sedang berada jauh dari jalan Allah. Astaghfirullah.”
“Tegas
memutuskan, ya ukh. Tetap Istiqomah menjadi muslimah yang senantiasa berbenah
diri. Saya tidak perlu memberikan saran apa yang harus ukhti lakukan
selanjutnya, karena saya tau ukhti lebih tau apa yang Allah mau dari hamba-Nya
yang sudah mengabaikan jalan menuju-Nya.”
“Insya
Allah. Mohon do’anya yaa ukhti. Syukron sudah mau mendengar kegalauan saya.
Syukron.”
“Afwan
ukhti. Itulah gunanya kawan. Kita saling mengingatkan, saling menguatkan.
Sudah?”
“Sudah,
ukhti. Wassalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam
warahmah.”
Setelah
mendengar jawaban salam ukhti Astia, ku matikan panggilan dari hp ini. Allah,
tubuhku rasanya berat. Semua persendiannya sepeti tak lagi mampu menobang
setiap bagian dari tubuh ini. Tanpa sadar, aku sudah melakukan hal yang tidak
disukai oleh Allahku. Aku sudah melakukan sebuah hubungan tanpa status yang
menurutku wajar, bahkan ku anggap ini hubungan pertemanan yang baik sebab yang
kami lakukan adalah saling belajar, dan saling mengingatkan dalam beribadah.
Namun senyatanya hubungan seperti ini pun tidak dihalalkan oleh-Nya.
“Allahummaghfirli…”
desisku berkali-kali.
Spontan
aku mengetik sebuah kata, yang sedetik kemudian tanpa sadar ku kirim pada akun
facebookku =>> Allahu :’
Setelah
itu, jemariku lincah mencari daftar playlist dan menyalakan MP3 terahir yang
pernah kuputar. Al-Alaq – Hani Ar-Rifa’i.
“A’uudzubillahiminasy
syaitoonirrajiim. Bismillahirrahmaanirrahiim. Iqra’ bismirabbikalladzii kholaq.
Kholaqol insaana min…”
Drett…
Sebuah getaran SMS memotong lantunan ayat yang sedang dibacakan oleh Qori
favoritku itu.
Lagi-lagi
sebuah pesan dari facebook.
Ibnu:
“Ukhti kenapa? Status ukhti? Almuslimu kaljasadil wahid, ukht. Ukhti kalau
punya masalah jangan dipendem sendiri. Kita itu ummat Islam yang satu sama
lainnya seperti satu tubuh. Kalau ukhti punya masalah, kalau ukhti ngrasa
sakit, jangan takut. Cerita sama ana. Insya Allah seperti mata yang menangis,
ana akan menjadi jemari yang mengusap air mata itu. Orang muslim itu satu
tubuh, ukh. Jangan pernah takut menghadapi semuanya sendirian. Apalagi kita kan
punya Allah.”
Setiap
rangkai tulisan akhi Ibnu itu seperti mencabik hatiku. Setiap hurufnya seperti
berubah menjadi batu yang menghantam hati, dan aah… Sesaak. Allah, apa yang
harus aku lakukan?
“Kallaa
innal insaana layathghoo, arroaa hus taghnaa, inna ilaa Rabbikarruj’aa…”
Seketika
air mataku tumpah. Aku telah melampaui batas yang telah ditetapkan Allah.
Aku telah merasa cukup mendapatkan teman sesholeh Ibnu, dan merasa berat
melepaskannya. Kenapa? Yang padahal semua kepunyaan Allah. Yang padahal semua
akan kembali pada Allah.
Saya:
“Ibnu, maaf. Mulai sekarang saya tidak ingin lagi mendapatkan inbox darimu. Kau
masih boleh memberikan komentar pada postingan saya, tapi saya harap komentar
itu sesuai dengan tema, dan tidak membahas terlalu jauh. Pertemanan kita bukan
pertemanan yang wajar. Saya harap kamu paham, dan saya rasa kamu memang lebih
mengerti tentang hal ini. Sudahi khalawat ini. Saya punya banyak teman akhwat
untuk berbagi dan berdiskusi. Begitu juga kamu dengan teman ihwanmu. Apalagi
kita sama-sama aktivis dakwah. Kita patut memberikan mau’idzotul hasanah, di
mana setiap perbuatan kita haruslah selaras dengan apa yang kita sampaikan.”
Selesai
mengetikkan huruf terahir, aku ragu untuk mengirimkannya. Ah, tapi aku harus
tegas!.
KLIK!
TERKIRIM.
Iqra’ Nadia!
Iqra’! Bacalah dengan menyebut nama Allah; Tuhanmu yang menciptakan. Bacalah
bukan hanya pada tulisan dan kata-kata. Bacalah juga keadaan. Apa kamu lupa
sewaktu dulu belajar Sastra, Ibu Nuriyah menjelakan bahwa ketika dalam
pembacaan puisi, maka yang akan dibaca penikmat bukan hanya pesan yang
disampaikan lewat setiap bait dalam syairnya? Melainkan juga membaca dari mimik
pembacanya, dari rautnya, dari ekspresi serta cara pembacaannya. Allah, maafkan
hamba-Mu yang tak kunjung pandai membaca ini. Allahummaghfir, Allah…
~Selesai~