Headlines News :
Home » » Cerpen Islami - IQRA!

Cerpen Islami - IQRA!

Written By Anis Khairunnisa on Rabu, 24 Agustus 2016 | 05.56


“Bacalah, bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.” Gumamku menerjemahkan ayat pertama surat Al-Alaq yang baru saja selesai ku baca tadi. Meski jujur, terkadang aku tertawa geli setiap kali mengingat begitu nekatku mengambil program jurusan Bahasa di MAN Buntet Pesantren Cirebon. Kenapa bukan Syari’ah saja biar semakin banyak Ilmu keislaman yang aku kuasai, dan tentunya agar keimanan dalam dadaku ini semakin kokoh melekat dalam setiap perbuatanku. Tapi di sisi yang lainnya, ayat ini selalu mampu menenangkanku.

Iqra’ bismirabbikalladzii kholaq. Bayangkan, perintah yang pertama sekali didapatkan oleh baginda Muhammad melalui Jibril adalah Iqra’. Iya, membaca. Jadi, alasan apa lagi yang tidak membuatku bangga menjadi salah satu bagian dari program jurusan sekeren BAHASA, yang mengajarkan siswanya tentang apa itu membaca, dan bagaimana cara membaca yang baik dan benar?. “Alhamdulillah…” Gumamku sekali lagi, sambil ku peluk erat Al-Quran biruku.

Drett dreettt…


Hp ku bergetar. Aku sengaja tidak mengaktifkan nadanya, agar tidak mengganggu kencan syahdu bersama Rabbku di tahajjud sepertiga malam yang damai ini. Kulirik jam yang menempel di atas pintu kamar. 04.20. “Sebentar lagi Subuh.” Bisikku pada sunyi. “SMS dari siapa, yaa? Gak biasanya.” lanjutku penasaran, mengalihkan pandangan pada sebuah benda kecil yang kuletakkan di atas ranjang tidur.

Setelah meletakkan Al-Quran, jemari meraih benda itu dan segera melihat pesan yang tak biasa ku dapatkan pada jam-jam seperti ini. Saat membaca pada layar awalnya, tertulis nama ‘Facebook’ di sana. Itu artinya pesan yang ku dapatkan ini dari salah satu teman facebook yang mengirim pesan di akunku. Aku memang sengaja menyalakan SMS pemberitahuan pesan dari facebook, karena biasanya ada saja teman yang beritahukan atau menanyakan suatu hal penting lewat inbox facebook. “Mungkin pesan ini penting.” Pikirku, dan segera membukanya.

“M Ibnu Ramadhan mengirimi anda pesan: Assalamu’alaikum, ukhti Nadia. Balas pesan ini untuk melanjutkan percakapan.”

“Ibnu?” tanyaku pada diri, mencoba mengingat-ingat nama Ibnu yang pernah ku kenal. Namun nihil. Otakku tak juga menemukan secuil pun memory tentang seseorang bernama M Ibnu Ramadhan.


Saya: “Wa’alaikumussalam warahmah. Iya, kenapa? Ini Ibnu siapa, yaa?”

Ibnu: “Lagi ngapain nih? Salam kenal, yaa.” Balasnya tak lebih dari semenit kemudian.


“Waah, ini sih modus.” waspadaku.

Duuh. Cowook, cowoook -_- Tanpa pikir panjang, ku lempar HP itu kembali ke atas ranjang. Aku pun kembali duduk khusyu’ di atas sajadah, untuk kembali larut terhanyut dalam alunan dzikir menjelang kencan Subuh yang indah.

Ku lepaskan mukenah yang membalut tubuh. Kencan kali ini telah usai, dan kini ahirnya ku harus kembali melanjutkan tugas kehambaanku pada Allah untuk menjadi khalifah di bumi-Nya. Untuk menjaga lingkungan dan alam dari kerusakan, juga untuk tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa, saling mengingatkan, serta saling menguatkan dalam penghambaan kepada-Nya. Karena kita manusia memanglah tempat salah dan lupa. Maka wajar Allah jadikan ummat Islam semuanya bersaudara. Agar seorang saudara tak sungkan mengingatkan saudaranya yang lupa, atau melenceng dari jalan Allah.

“Brug!” Ku hempaskan tubuh di atas ranjang nan empuk. Pagi ini terasa nikmaat sekali. “Alhamdulillah…” Pujiku bagi-Nya.

Drett… Dreettt…

 Pandanganku spontan bergerilya mencari sumber getaran, dan sekejap saja benda mungil itu sudah ada di genggamanku. “4 pesan baru dari facebook”.

“Facebook, lagi?”

Pesan 1: “Kok gak dibales, ukhti?”
Pesan 2: “Ketiduran, yaa?”
Pesan 3: “Banguun, udah Subuh!”
Pesan 4: “Jangan sampai ketinggalan Subuh, yaa.”

“Iiih, rempong deh chyn :| Apa cobak maksudnya?” gerutuku mulai merasa terganggu.


Saya: “Maaf ya. Ibnu punya kepentingan apa inbox saya? Lebih baik langsung sampaikan saja, saya tidak suka berkomunikasi yang tidak penting dengan lelaki.”

Ibnu: “Oh iya, afwan ukhti. Ukhti Nadia ini aktivis dakwah, yaa?”

Saya: “Saya baru di dunia dakwah. Kuliah yang saya masuki ada di fakultas dakwah. Jadi, setidaknya saya harus menjadi bagian dari dakwah juga. Kenapa memang?”

Ibnu: “Ana juga aktivis dakwah di kampus, ukh. Kalau ana jurusan Matematika, tapi ikut UKM Kader Pendakwah Muda Indonesia.”

Saya: “Bagus dong.”

Ibnu: “Syukron ^^ Ukhti pernah mesantren?”

Saya: “Tidak.”

Ibnu: “Loh, tapi kalau ana liat dari cara ukhti menulis status kok kaya udah pekat sekali agamanya, yaa?”

Saya: “Status kan bisa copas.”

Ibnu: “Kalau balas komentar?”

Saya: “Saya dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan yang cukup kuat agamanya. Saya hanya mencoba menyampaikan apa yang saya tau.”

Ibnu: “Ballighunii walau aayah, ya ukhti?”

Saya: “Iya. Bukankah al ‘ilmu bilaa ‘amal kasy syajari bila tsamar?”

Ibnu: “Betul, ukh. Buahnya ilmu itu kemanfaatan bagi orang lain. Yaa, minimal bagi diri kita sendiri dan keluarga terdekat lah. Kalau ilmu gak diamalkan dan gak dimanfaatkan, sama aja kaya pohon mangga yang gak pernah tumbuh buahnya.”

Saya: “Shodaqta, Akh.”

Ibnu: “Ukhti Nadia sudah sholat Subuh?”

Saya: “Sudah”

Ibnu: “Alhamdulillah. Hari ini puasa Senin juga gak nih ukh?”

Saya: “Tidak.”

Ibnu: “Wah, kenapa? Puasa Senin-Kamis itu sunnah yang bagus looh, ukh. Nanti coba yaa.”

Saya: “Saya sudah mengistiqomahkan puasa Daud, akh. Hari ini tidak ada jadwal.”

Ibnu: “Masya Allah. Alhamdulillah, semoga tetap diberi keistiqomahan menjalaninya ya. Insya Allah seaik-baiknya puasa sunnah di sisi Allah adalah sehari puasa dan sehari tidak (Puasa Nabi Daud as).”

‘Aamiin…’ Bisikku pada sunyi. Berharap doa ini menguap bersama embun pagi dan terus naik hingga menembus batas langit. “Sepertinya dia lelaki baik.” Bisikku lagi. Sebuah  senyuman tiba-tiba saja melengkung dari kedua sudut bibirku. Aku tau, kesunyian pasti sedang menertawaiku saat ini. Aku tak pernah merasakan hal ini. Baru sebentar bercakap saja, seperti kami sudah sekian lama saling mengenal.

Mungkin ini yang disebut perkenalan karena Allah. Mencinta dan membenci karena Allah. Cinta? Hehe, bukankah cinta bukanlah sebuah kosakata yang hanya melukiskan perasaan dua insan yang sedang diperbudak perasaan? Dalam berkawan pun kita harus saling mencintai karena Allah. Berkawan dengan orang-orang yang punya iman di dadanya, agar bisa saling menguatkan di jalan Allah. Juga tegas meninggalkan mereka yang ketika tersesat tidak mau diberi petunjuk yang Allah kabarkan dalam firman-Nya, bahkan justru mengajak kita ikut bersamanya; di jalan kesesatan. Na’udzubillah. Jauhkanlah kami dari kawan seperti itu, Allah…

Beberapa minggu yang menyenangkan telah berlalu. Komunikasi kami masih tetap berlanjut, dan dia semakin sering mengirimiku pesan di facebook menanyakan ini dan itu. Kami juga kerap mengadakan diskusi kecil mengenai suatu problema yang terjadi di kalangan kaum muda. Aku kagum pada pendalaman agamanya. Dia selalu mampu melihat suatu masalah dari sudut yang sungguh berbeda. Dia begitu mengerti tentang social dan Islam. Rasanya, beruntung sekali aku kenal dia. Tapi ada sesuatu yang seperti mengusikku.

“Selamat Maghrib. Jangan telat Maghribannya yaa ukhti. Waktu sholat Maghrib itu sebentar. Ayo bergegas wudhu!”

Nah. Itu adalah satu-satunya hal yang menurutku sangat janggal. Dia sudah seperti alarm ibadah saja bagiku. Maghrib diingatkan, Tahajjud pasti kirim inbox, Duha tak pernah terlewat, sampai tadarus Al-Quran pun dia selalu ngajak. Bagus siih, Hanya ku rasa ada yang tidak wajar pada sikapnya itu.

Pernah suatu sore dia kirimkan pesan, memberitahukan padaku bahwa hari itu dia akan bertanding footsal. Dia minta aku doakan agar timnya menang. Lalu sekira 3 jam kemudian, dia kembali mengirim pesan, dan dengan antusiasnya menceritakan setiap detil pentandingan.


Saya: “Sepertinya tidak semua kegiatanmu harus kau laporkan pada saya, kan?”

Ibu: “Iya sih. Afwan deh ukh.”

Saya: “Na’am.”

Ibnu: “Ukhti marah? Afwan. Ana hanya merasa tidak punya teman selain ukhti. Jadi, ana terlalu senang membagi kesenangan ana pada ukhti Nadia. Teman ana. Afwan, ukhti. Kalau ini dirasa mengganggu, ana tidak akan lagi melakukannya.”


Aku tak membalasnya. Kali ini aku benar-benar bingung harus melakukan apa. Di suatu sisi, aku senang punya seorang teman yang juga aktivis dakwah. Tapi di sisi lain, ada perasaan tak biasa yang mulai bercongkol di hati. Aaaa, aku galau!

“Alaa bidzikrillahi yathmainnul quluub…” Tiba-tiba saja penggalan ayat 28 surat Ar-Rad itu melintas di ingatanku. Masya Allah. “Apa aku melupakan-Mu, Allah? Apa sekarang aku jadi jarang mengencani-Mu dalam alunan dzikir yang syahdu?”

“Mungkin ukhti Nida Astia bisa membantuku. Iya. Dia pasti mau bantu aku menjawab sebab kegalauan ini. Dia kan Mahasiswi Bimbingan Konseling Islam di IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Dia pasti punya pandangan dan solusi dari sudut yang Islami.” Mantapku.

Aku segera mencari kontak bertuliskan nama ‘Nida Astina’, kemudian mengetik: “Assalamu’alaikum, ukhti Asti. Saya mau sharing ke ukhti, boleh?”

Hanya selang beberapa menit, di membalas: “Wa’alaikumussalam warahmah, ukhti Nadia. Boleh, ukhti. Kebetulan saya lagi santai niih. Mau cerita apa?”

Tak ku siakan kesempatan ini, tombol hijau yang tertuju pada nomernya itu pun ku peccet. Maka ku ceritakan tentang perubahan yang belakangan ini terjadi pada kedamaian yang biasanya selalu menyelimuti rasaku. Tentang kapan aku mulai merasa berbeda, bahkan tentang Ibnu pun aku ceritakan pada ukhti Astia. Tak ada yang ku sembunyikan darinya.


“Masya Allah, ukhti. Ukhti gak sadar, kalau ukhti lagi dimodusin sama lelaki itu?”

“Hah? Modus, ukh? Modus buat apa?”

“Biasalah, cowok. Ukhti hati-hati, jaman sekarang hasutan setan sudah semakin halus looh ukht.”

“Maksud ukhti, yang saya lakukan bersama akhi Ibnu itu termasuk khalawat, kah? Tapi kan kami hanya membahas seputar agama. Meski terkadang terselip gurauan atau obrolan ringan lainnya, siih.”

“Hehe, itulah ukh hebatnya setan. Makanya kita musti pandai-pandai membaca keadaan. Bukankah sudah jelas Allah melarang kita untuk antara lelaki dan wanita saling bertemu atau mengobrol berduaan?”

“Ukhti benar. Harusnya saya lebih bisa membaca gerak-geriknya dari awal. Kalau sudah jauh begini kan jadi susah.”

“Ukhti Nadia jangan khawatir. Tidak pernah ada kata terlambat untuk meninggalkan keburukan, ukh. Gak ada kata terlambat untuk memulai lagi hal baik. Allah suka hamba-Nya yang bertaubat.”

"Iya, ukh. Pantas saja perasaan saya terasa runyam. Gak tenang. Ternyata saya memang sedang berada jauh dari jalan Allah. Astaghfirullah.”

“Tegas memutuskan, ya ukh. Tetap Istiqomah menjadi muslimah yang senantiasa berbenah diri. Saya tidak perlu memberikan saran apa yang harus ukhti lakukan selanjutnya, karena saya tau ukhti lebih tau apa yang Allah mau dari hamba-Nya yang sudah mengabaikan jalan menuju-Nya.”

“Insya Allah. Mohon do’anya yaa ukhti. Syukron sudah mau mendengar kegalauan saya. Syukron.”

“Afwan ukhti. Itulah gunanya kawan. Kita saling mengingatkan, saling menguatkan. Sudah?”

“Sudah, ukhti. Wassalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam warahmah.”


Setelah mendengar jawaban salam ukhti Astia, ku matikan panggilan dari hp ini. Allah, tubuhku rasanya berat. Semua persendiannya sepeti tak lagi mampu menobang setiap bagian dari tubuh ini. Tanpa sadar, aku sudah melakukan hal yang tidak disukai oleh Allahku. Aku sudah melakukan sebuah hubungan tanpa status yang menurutku wajar, bahkan ku anggap ini hubungan pertemanan yang baik sebab yang kami lakukan adalah saling belajar, dan saling mengingatkan dalam beribadah. Namun senyatanya hubungan seperti ini pun tidak dihalalkan oleh-Nya.

“Allahummaghfirli…” desisku berkali-kali.

Spontan aku mengetik sebuah kata, yang sedetik kemudian tanpa sadar ku kirim pada akun facebookku =>> Allahu :’

Setelah itu, jemariku lincah mencari daftar playlist dan menyalakan MP3 terahir yang pernah kuputar. Al-Alaq – Hani Ar-Rifa’i.

“A’uudzubillahiminasy syaitoonirrajiim. Bismillahirrahmaanirrahiim. Iqra’ bismirabbikalladzii kholaq. Kholaqol insaana min…”

Drett… Sebuah getaran SMS memotong lantunan ayat yang sedang dibacakan oleh Qori favoritku  itu.
Lagi-lagi sebuah pesan dari facebook.


Ibnu: “Ukhti kenapa? Status ukhti? Almuslimu kaljasadil wahid, ukht. Ukhti kalau punya masalah jangan dipendem sendiri. Kita itu ummat Islam yang satu sama lainnya seperti satu tubuh. Kalau ukhti punya masalah, kalau ukhti ngrasa sakit, jangan takut. Cerita sama ana. Insya Allah seperti mata yang menangis, ana akan menjadi jemari yang mengusap air mata itu. Orang muslim itu satu tubuh, ukh. Jangan pernah takut menghadapi semuanya sendirian. Apalagi kita kan punya Allah.”


Setiap rangkai tulisan akhi Ibnu itu seperti mencabik hatiku. Setiap hurufnya seperti berubah menjadi batu yang menghantam hati, dan aah… Sesaak. Allah, apa yang harus aku lakukan?

“Kallaa innal insaana layathghoo, arroaa hus taghnaa, inna ilaa Rabbikarruj’aa…”

Seketika air mataku tumpah.  Aku telah melampaui batas yang telah ditetapkan Allah. Aku telah merasa cukup mendapatkan teman sesholeh Ibnu, dan merasa berat melepaskannya. Kenapa? Yang padahal semua kepunyaan Allah. Yang padahal semua akan kembali pada Allah.


Saya: “Ibnu, maaf. Mulai sekarang saya tidak ingin lagi mendapatkan inbox darimu. Kau masih boleh memberikan komentar pada postingan saya, tapi saya harap komentar itu sesuai dengan tema, dan tidak membahas terlalu jauh. Pertemanan kita bukan pertemanan yang wajar. Saya harap kamu paham, dan saya rasa kamu memang lebih mengerti tentang hal ini. Sudahi khalawat ini. Saya punya banyak teman akhwat untuk berbagi dan berdiskusi. Begitu juga kamu dengan teman ihwanmu. Apalagi kita sama-sama aktivis dakwah. Kita patut memberikan mau’idzotul hasanah, di mana setiap perbuatan kita haruslah selaras dengan apa yang kita sampaikan.”


Selesai mengetikkan huruf terahir, aku ragu untuk mengirimkannya. Ah, tapi aku harus tegas!.

KLIK!
TERKIRIM.

Iqra’ Nadia! Iqra’! Bacalah dengan menyebut nama Allah; Tuhanmu yang menciptakan. Bacalah bukan hanya pada tulisan dan kata-kata. Bacalah juga keadaan. Apa kamu lupa sewaktu dulu belajar Sastra, Ibu Nuriyah menjelakan bahwa ketika dalam pembacaan puisi, maka yang akan dibaca penikmat bukan hanya pesan yang disampaikan lewat setiap bait dalam syairnya? Melainkan juga membaca dari mimik pembacanya, dari rautnya, dari ekspresi serta cara pembacaannya. Allah, maafkan hamba-Mu yang tak kunjung pandai membaca ini. Allahummaghfir, Allah…

~Selesai~

Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Anda pengunjung ke:

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Rainbow After Tears - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template