Dear Dairy…
Hari ini Rindu, teman lamaku, telah kembali dari pesantren di Jawa Timur sana. Dia akan mendaftar di IAIN Cirebon, bersamaku. Kami akan kembali belajar di satu kampus, dan satu jurusan yang sama. Iya, di jurusan Bimbingan Konseling Islam di IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Kami akan ke sekolah bareng, pulang bareng, ngerjain pe’er bareng, duduk bersebelahan, ke kantin, ngobrol, aaa… Semuanya akan seperti masa-masa SD dulu.
Waah, sudah enam tahun kami berpisah. Perpisahan tanpa komunikasi apapun. Aku kehilangan kontak sama sekali darinya. Dan selama 6 tahun ini, kami tak saling tau kabar masing-masing, hingga beberapa bulan yang lalu orang tuanya menemuiku untuk menanyakan pendaftaran Mahasiswa baru di IAIN Cirebon. Apa dia sudah banyak berubah, yaa? Ah, tapi tak mungkin. Rinduku pasti masih Rindu yang sama. Rindu yang lebih cantik dariku, yang lebih pintar dariku, yang lebih-lebih, dan terlebih paling lebih bebas dari pusat perhatian para lelaki daripada aku.
Duh, Dairy… Aku senang bisa kembali bertemu dengannya. Tapi apa nanti perasaan iri ku padanya juga akan tetap sama? Dia seperti punya segalanya yang aku mau, dia seperti selalu mudah mendapatkannya, sedangkan sejak dulu aku pasti harus berjuang dulu untuk mendapatkan apapun yang aku mau.
Oh, Allah. Maafkan jika perasaan iri yang akan kembali datang setibanya Rindu di Cirebon ini masih saja bercongkol padaku. Maafkan, Allah. Aku tak bisa mengolah rasaku, maafkan aku. Namun aku mohon Engkau anggunkan sikapku setiap bersikap padanya. Setiap bersikap pada semua yang dimilikinya, setiap bersikap dengan apapun tentang dia. Aku akan selalu berusaha menepis perasaan tak baik dari masa laluku ini, Allah. Semoga kepura-puraanku ini kelak Engkau ganjar dengan benar-benar terhapusnya iri itu.
Well, hari ini aku senang. Baru saja ku dapatkan SMS dari Rindu, bahwa ia sudah menembus kota Jogja. Dan pastinya takkan lama lagi, rindu dua sahabat kecil yang terpisah selama 6 tahun untuk menuntut ilmu di dua tempat yang berbeda ini akan bertemu, melebur menjadi haru.
~ Hanifah ~
Hari ini Rindu, teman lamaku, telah kembali dari pesantren di Jawa Timur sana. Dia akan mendaftar di IAIN Cirebon, bersamaku. Kami akan kembali belajar di satu kampus, dan satu jurusan yang sama. Iya, di jurusan Bimbingan Konseling Islam di IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Kami akan ke sekolah bareng, pulang bareng, ngerjain pe’er bareng, duduk bersebelahan, ke kantin, ngobrol, aaa… Semuanya akan seperti masa-masa SD dulu.
Waah, sudah enam tahun kami berpisah. Perpisahan tanpa komunikasi apapun. Aku kehilangan kontak sama sekali darinya. Dan selama 6 tahun ini, kami tak saling tau kabar masing-masing, hingga beberapa bulan yang lalu orang tuanya menemuiku untuk menanyakan pendaftaran Mahasiswa baru di IAIN Cirebon. Apa dia sudah banyak berubah, yaa? Ah, tapi tak mungkin. Rinduku pasti masih Rindu yang sama. Rindu yang lebih cantik dariku, yang lebih pintar dariku, yang lebih-lebih, dan terlebih paling lebih bebas dari pusat perhatian para lelaki daripada aku.
Duh, Dairy… Aku senang bisa kembali bertemu dengannya. Tapi apa nanti perasaan iri ku padanya juga akan tetap sama? Dia seperti punya segalanya yang aku mau, dia seperti selalu mudah mendapatkannya, sedangkan sejak dulu aku pasti harus berjuang dulu untuk mendapatkan apapun yang aku mau.
Oh, Allah. Maafkan jika perasaan iri yang akan kembali datang setibanya Rindu di Cirebon ini masih saja bercongkol padaku. Maafkan, Allah. Aku tak bisa mengolah rasaku, maafkan aku. Namun aku mohon Engkau anggunkan sikapku setiap bersikap padanya. Setiap bersikap pada semua yang dimilikinya, setiap bersikap dengan apapun tentang dia. Aku akan selalu berusaha menepis perasaan tak baik dari masa laluku ini, Allah. Semoga kepura-puraanku ini kelak Engkau ganjar dengan benar-benar terhapusnya iri itu.
Well, hari ini aku senang. Baru saja ku dapatkan SMS dari Rindu, bahwa ia sudah menembus kota Jogja. Dan pastinya takkan lama lagi, rindu dua sahabat kecil yang terpisah selama 6 tahun untuk menuntut ilmu di dua tempat yang berbeda ini akan bertemu, melebur menjadi haru.
~ Hanifah ~
Hani
menutup buku Dairy kuningnya. Menatap sampulnya, sebelum ahirnya diletakkan di
sebuah meja belajar, yang kini sudah tidak ada lagi buku pelajaran yang
berserakan di atasnya. Gadis itu sekarang sudah resmi menjadi Mahasiswi
Bimbingan Konseling Islam di IAIN Syekh Nurjati Cirebon, bukan lagi siswi
Madrasah Aliyyah dengan buku pelajaran yang sama.
“Oke,
Hani. Lu sekarang bukan bocah Aliyah lagi. Lu harus bisa ngubah jiwa
kekanak-kanakan lu, dan harus lebih dewasa. Okeh? Okehsipp.” Serunya setelah
menampar pipi kanan dengan tangannya sendiri, mencoba membuyarkan semua
kenangan tentang Rindu.
“Sekarang
lu itu udah jadi Mahasiswi, Han. Mahasiswi BK, looh. Jangan jadi remaja
bermasalah deeh. Apalagi BK nya ada huruf I di belakangnya, dan apalagi di BK
nya nanti ada Rin… du.” Volume suara Hani tiba-tiba saja melemah tatkala nama
itu kembali disebutnya.
“Hmm…
Rindu.” Gumamnya tak habis pikir.
“Hani…
Ada tamu.” Teriak Ummi dari balik pintu kamar, membuyarkan lamunannya.
“Siapa,
Mi?” sahut Hani.
“Ayo keluar,
nanti tau sendiri.”
“Iya,
Ummi. Sebentar, Hani pakai himar dulu.” Seru gadis yang cepat-cepat meloncat
dari ranjang, dan meraih himar coklatnya. Himar itu diletakkan di kepala, hanya
dililit satu kali, kemudian bergegas menemui tamunya tersebut.
“Hanii…”
Teriak seorang wanita sepantarannya, setengah berlari menghampiri Hani.
“Rinduu…”
Sambut Hani tak kalah histerisnya. “Rindu, katanya dua jam yang lalu masih di
Jogja? Aku kira kita bisa ketemunya besok.” Ungkap Hani tak percaya melihat
sosok yang kini berada tepat di hadapannya itu.
“Ooh,
Hanii. Aku rindu kau.” Ujar wanita bernama Rindu itu, sambil memeluk Hani. “Aku
ingin cepat-cepat ketemu kamu, jadi aku langsung ke sini. Hehe. Gak apa-apa,
yaa?”
“Walaah,
ya enggak apa-apa. Kaya aku ini siapanya kamu aja. Rumah orangtua kamu lumayan
jauh, kan? Kalau nginep aja, gimana?” Hani menawarkan. Rindu tersenyum dengan
begitu meronanya, kemudian dia mengangguk tanda setuju.
Tak
butuh waktu lama bagi Hani, gadis itu langsung menyambar dua koper besar yang
dibawa tamunya. “Oke, yuuk langsung ke kamarku aja. Biar kamu bisa langsung
istirahat. Kan cape. Dari sana jam berapa, Rindu?”
Bla..
bla… bla… Selayaknya kawan lama yang baru saja dipertemukan oleh ruang dan
waktu, mereka banyak mengobrol ini-itu. Haha, dugaan Hani sungguh tepat. Rindu
masih seperti Rindunya di masa lalu. Rindu yang ceriwis seperti waktu SD dulu.
“Awalnya
aku kesel Han, Mama maksa aku abis-abisan buat masuk pesantren abis lulus SD.
Sampe acara ngancem segala, cobak. Katanya, kalau gak mau nurut, mending gak
usah jadi anak mama lagi. Sungguh teganya teganya teganya teganya mamaku~” Adu
Rindu memulai kisah masa lalunya.
“Hehe,
bagus dong Rin. Aku malah pengen banget nyantren.” Respon Hani penuh semangat.
“Cuma sampai segede sekarang, tetep gak dibolehin sama Abah. Nemenin Ummi di
rumah aja, katanya.” lanjutnya dengan sedikit lukisan kecewa di wajahnya.
“Kok
bagus? Iya bagus. Kamu bagus, suruh tetep di rumah. Lah aku? Kesel gak sih,
Han… SMP kan waktunya jiwa remaja kita mulai tumbuh. Bukannya dibiarin
berkreasi juga berekspresi, aku malah dikekang sama orang tua di penjara suci,
pesantren itu. Mana gak diboleh bawa HP lagi. Hih.” Gerutu Rindu lagi.
Sedangkan Hani hanya menanggapinya dengan sebuah senyuman kecil. Sebuah senyum
penuh kebingungan.
“Eh,
kamu sudah punya pacar, belum?” tanya Rindu tiba-tiba mengalihkan topic
pembicaraan.
Hani
kembali menjawabnya dengan senyuman. “Belum.” Lanjutnya agak lama.
“Kamu
masih kaya dulu aja yaa, kayaknya sensi banget sama yang namanya cowok?” goda
Rindu mengingat betapa galaknya Hani setiap ada cowok yang sengaja
nyenggol-nyenggol doi.
“Hehe,
apaan sih. Gak sensi kok. Cuma aku gak mau pacaran aja. Aku gak mau deket-deket
sama cowok yang gak berkepentingan gitu. Apa salah?” Hani membela diri.
“Salah
lah.” Ketusnya.
“Kok?”
Hani semakin bingung dibuatnya.
“Orang
aneh kamu tuh. Dulu kan banyak cowok kece yang ngejar-ngejar kamu, yang coba
deketin kamu, malah dijudesin. Hanii… Hani...”
“Hehe.
Eh, memangnya kamu udah punya pacar, bukannya dari dulu cowok-cowok pada kabur
setiap liat kamu yaa?”
“Haha,
kita tuh masih inget aja yaa cerita waktu dulu.”
“Iyalah,
kita kan bestfriend.”
“Forever.”
Sahut Rindu, yang kemudian disusul tawa menggembirakan yang membuat keduanya
larut terhanyut dalam kebersamaan. Sebuah kerinduan yang sama di antara dua
sahabat lama yang malam ini tertuang dalam satu bejana yang juga sama;
pertemuan.
“Kamu
belum jawab pertanyaanku, looh.” Hani mengingatkan.
Rindu
tersentak. “Apa? Oh, yang tentang pacar itu yaa?” Hani mengangguk satu kali.
“Udah. Dia pacar pertamaku. Orangnya baiik banget, Han. Ganteng, sholeh,
suaranya kalau udah qiro tuh, Subhanallah. Bikin hati klepek-klepek. Pokoknya
dia itu sejatinya lelaki idaman wanita deh.”
“Oh, ya?
Nemu di mana?” Hani antusias.
“Kami
satu pondok. Dia kakak tingkatan aku, udah boyong tahun lalu.” Rindu
menjelaskan. “Tapi…”
“Tapi?
Kenapa?”
“Sejak
dua bulan sejak dia keluar, dia udah gak pernah bales SMS aku lagi, gak pernah
telponan lagi, pokoknya gak pernah hubungin aku lagi.”
“Kalian
putus?”
“Gak,
Hani! Malah waktu perpisahan tahunnya dia itu, dia nekat nemuin aku di depan
temen lain, trus bilang kalaupun kami gak lagi tinggal di satu atap yang sama,
tapi hati kami tetap ada di satu cinta yang sama. Tapi sampai sekarang aku gak
tau kabarnya, Hani…”
“Kok
aneh, yaa?” Dahi Hani semakin berkerut memikirkan.
“Makanya,
aku galau.”
“Samasekali
gak ada info apapun tentang dia selama setahun ini, gitu? Samasekali?”
“Gak
ada, Han. Paling pernah temen pondokku, waktu dia ijin pulang karena sakit,
katanya sih dia liat pacarku lagi ngebonceng cewek. Dan kata dia, keliatannya
mesraaa hahahaaa, Haniii… Apa dia selingkuh? Tapi kok gak ijin ke aku dulu
kalau mau selingkuh, dia belum putusin aku, Hani. Huwaaaaa…”
“Aduuh,
gimana ya? Udah dong Rindu, jangan nangis. Ih masa nangis sih? Mestinya kamu
bersyukur kalau dia ninggalin kamu.” Hani tenangkan Rindu. Dipeluk sahabat
lamanya itu, dalam-dalam. “Mestinya kamu bersyukur kalau dia ninggalin kamu.
Berarti sekarang kamu jadi jomblo. Yuuk, jadi jomblo mulia aja kaya aku, jadi
jomblo sampe halal. Udaah…” lanjutnya.
Rindu
tersentak. Dilepaskannya pelukan gadis itu. “Hah? Jomblo? Gak lah. Aku cinta sama
dia kok. Kamu ngerti gak sih?”
“Iya aku
paham. Tapi kan di Islam kita gak boleh pacaran, Rindu. Kita harus tetap
menahan perasaan ini sampai semuanya boleh diungkapkan dengan tenang.”
“Kalau
dia jadian sama cewek lain, gimana?”
“Ya mau
gimana lagi? Tentang perasaan ini kan bukan maunya kita. Tentang jodoh kan
bukan haknya kita yang nentuin. Kalau toh selama dalam penantianmu, dia malah
nikah sama cewek lain, itu berarti dia bukan jodoh kamu. Nah, kalau kalian
jodoh, tenang aja. Karena seberapa lama putusnya komunikasi di antara kalian,
seberapa jauh jarak memisahkan raga kalian, toh pada ahirnya akan bertemu di
pelaminan juga. Simple, kan?”
“Simple?
Kamu pernah ngrasain jatuh cinta gak
sih, Hani? Gampang banget ngomong gitu. Nglakuinnya tuh gak se-simple yang kamu
bilang, tau gak sih?”
“Memang
nglakuinnya gak simple, Rindu. Tapi setidaknya kan kita berusaha nglakuin yang
terbaik buat diri kita sendiri. Selama setahun ini gak ada kabar dari dia, kamu
ngrasa tersiksa kan?”
“I… Iya
sih.” Jawab Rindu ragu, mulai menerima jalan pikir Hani.
“Kamu
gak mau lepas dari siksaan itu?” Hani mengusap sisa-sisa genangan kecil pada
pipi Rindu.
“Mau.”
Tegasnya.
“Kalau
mau, udah. Lepasin, ikhlasin. Come on! Move up!”
“Tapi
dia belum mutusin aku.”
“Belum?
Digantung selama setahun tanpa kabar beritanya, apa secara gak langsung itu
bukan permintaan putus?”
“Jadi
aku harus gimana?”
“Jadi jomblo.
Lebih mulia, lebih terjaga, sampai sah~”
Bukannya
mengiyakan atau menolak permintaan Hani, Rindu malah terkekeh dibuatnya. “Kamu
tuh ya. Bener-bener, dri dulu gak ada berubahnya. Haha, jadi jomblo yaa? Aku
ingat dulu kamu pernah bikin persatuan jomblo gitu. Namanya apa deh, aku lupa.”
“VerszoMulia.
Persatuan Jomblo Mulia.”
“Iya,
VerszoMulia. Haha. Iya, iya. Jomblo. Lebih mulia dari pacaran, yaa?
“Iya
doong. Jomblo itu mulia, daripada pacaran cuma bikin kecewa dan… nyesseknya tuh
di sini, tau gak sih!”
“Haha,
bener, bener!. Iya, iya. Aku gabung VerszoMulia sekarang. Aku jomblo sekarang.
Bukan jomblo ngenes yang gak laku, tapi jomblo mulia yang terhormat
segala-galanya.”
“Nah,
gitu doong. Alhamdulillah.”
Dua
kawan lama itu saling berpandangan sejenak. “Ah, dia masih kawanku yang dulu.”
Batin keduanya, sebelum ahirnya dering HP Hani memecah suasana itu.
“Mencintai
Allah kan bahagiakanmu, kan menyejukkanmu, dan membesarkanmu. Bila kau sadari
cinta yang suci hanya datang dari rahmat-Nya. Cinta yang abadi, cinta yang
sejati…”
“Eh,
Han. Itu suara HP kamu? Bunyi tuh.” Rindu mengingatkan.
“Ah
biarin. Aku masih betah ngobrol sama kawan lama.” Ujar Hani tak beranjak dari
posisinya yang semula.
“Jangan
gitu. Kalau penting, gimana?”
“Kalau
penting pun gakkan mengakibatkan korban nyawa melayang, kok.”
“Haha,
udah. Liat dulu sana.”
“Oke,
oke.” Dengan berat Hani bangkit dan meraih HP yang terletak di atas meja
belajarnya itu.
“Malam
ini bulan tanggal 14. Lihat wajah langit deh. Bulannya cantik, ya. Pasti karena
wajahmu di sana juga sedang cantik-cantiknya.”
Hani
mematung sukup lama membaca pesan singkat itu.
“Dari
siapa?” tanya Rindu menyadarkan.
“Ini.
Eh, aku bingung sama orang ini deh Rindu.”
“Siapa,
kenapa memangnya?”
“Dia itu
sering banget SMS kaya gini. Gombalin aku gitu pokoknya.”
“Mana,
liat?”
“Nih.”
Hani memberikan HP nya pada Rindu,
“Pacar
kamu?”
“Ngarang!.
Aku jomblo.”
“Kang
Rizal?”
“Iya.”
“Pacarku,
eh, mantanku namanya juga Rizal. Rizal Ambari.”
“Setauku,
nama dia juga Rizal Ambali.”
“Loh,
kok? Coba aku liat nomernya dulu.” Rindu penasaran. “SAMA!” pekiknya kemudian.
“Masya
Allah.”
“Rizal
itu siapanya kamu, Han?”
“Kami
temen, kok. Dia pernah jadi peserta Qiro’, yang salah satu jurinya aku. Dia
jadi juara pertama. Trus jadi kenal. Tapi SMS nya gak pernah aku ladenin kok.”
“Tapi
buktinya dia ngegombalin kamu. Banyak banget SMS gombalannya.”
“Mana
tau kan kalau dia ngirim SMS itu gak ke aku aja.”
“Gak
mungkin.”
“Plis,
jangan su’udzon gitu.”
“Oke,
sekarang kamu tanya keseriusan dia.”
“Nanya?”
“Iyalah.
Lagian kamu mau terus-terusan digombalin kaya gitu? Katanya jomblo mulia. Ah,
ini mah gak mulia.”
“Ya
risih juga sih. Iya deh aku tanyain.”
“Nelpon
aja, biar cepet. Loadspeaker, biar aku bisa mastiin juga itu suara Rizalku atau
bukan.” Jelas Rindu.
Hani
mengangguk, dan pandangannya kembali ke layar HP-nya. Memencet tombol beberapa
kali, sebelum ahirnya terdengar suara dari sebrang telpon.
“Halo.”
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam Wahrahmah”
“Kang, akang kenapa sih sering ngirimin Hani pesan yang kaya tadi?”
“Memangnya kenapa? Memang kamu cantik, Hani.”
“Ya tapikan akang gak perlu ngirimin kata-kata kaya gitu. Apalagi kita bukan mahrom.”
“Tapi akang sayang sama Hani, lebih dari semua yang akang sayang, dan semua yang sayang sama Hani.”
“Kang, semua itu ada waktunya.”
“Maksud Hani?”
“Kalau akang sayang Hani lebih, akang datang ke rumah. Akang lamar Hani, akang nikahin Hani. Baru akang boleh ngungkapin semua perasaan sayang akang dengan bebas.”
“Oh pasti, Hani. Kalau sudah waktunya nanti, akang siap nikahin Hani sayang.”
“Tapi akang!”
“Apa?”
“Sebelum semuanya, Hani tidak mau lagi dapat gombalan dari akang. Gak SMS selamat pagi atau apapun, gak. Hani mau fokus belajar. Hani gak mau ada ikatan setan di antara kita, tapi Hani juga gak pernah maksa kalau suatu hari nanti di tengah penantian kang Rizal, akang nemuin wanita yang lebih baik. Akang bebas. Kita gak saling terikat.”
“Iya, akang paham maksud Hani. Akang akan tunggu sampai Hani siap menjadikan akang satu-satunya.”
“Terimakasih, Wassalamu’alaikum”
“Wa ‘alaikumussalam warahmah.”
Hani
mematikan panggilan dari HP, meletakkan, kemudian melirik wajah Rindunya.
“Rindu,
kamu nangis?”
“Hani! Sahabat macam
apa kamu? Aku benci sama kamu!” teriak Rindu yang kini tangisnya pecah di
hadapat Hani.
“Rindu,
maaf. Dengerin penjelasan aku dulu.”
“Gak
mau!. Kamu denger ya Han, suatu hari nanti, perlakuanmu malam ini harus kamu
bayar!. INGET! KARMA MASIH BERLAKU!!.” Ujarnya menantang tepat di mata Hani.
Hani mematung beberapa detik, sebelum ahirnya Rindu berlari membuka pintu.
“Rinduuuu,
tunggu…” Cegah Hani. “Sudah larut malam, kamu mau ke mana?” lanjutnya khawatir.
“Pulang.
Gak sudi tidur sama penghianat.”
“Rindu,
salahku apa? Rindu jangan Rindu. Dengerin aku duluu…” pinta Hani lirih. Tapi
percuma. Rindu tak menghiraukannya. Ia terus berlari meninggalkan Hani.
“Allah,
kini hamba sadar Engkau sungguh selalu berikan uji juga coba kepada setiap
hamba-Mu dengan batas mampunya. Engkau Maha Mengetahui nadir kami, Engkau Maha
tak terjangkau logika.” Batin Hani, seraya berlari kecil mencoba mengejar
Rindu. “Rindu… Maaf aku pernah iri kepadamu, maaf sempat menganggap hidupmu
begitu mudah, tak seberat masalahku. Nyatanya Allah kita lebih paham titik
mampu kita. Apa jadinya aku jadi kamu atau kamu jadi aku? Aku bersyukur, aku
dengan sejuta fans lelaki dalam pendiamku yang menyelamatkan. Dan kamu dengan
kegaulanmu, namun dari dulu aku tak pernah tau ada lelaki yang menyukai gayamu.
Haha. Tapi itulah yang menyelamatkanmu. Aku tak perlu iri pada siapapun. Aku
hanya perlu melihat tentangnya lebih dekat. Dan aku akan mengerti betapa setiap
orang pasti punya masalah yang menurutnya berat. Aku hanya perlu mengenalmu lebih
dekat, agar hilang semua iri padamu, Rindu…”
Di
perempatan jalan, gadis itu kebingungan ke arah mana Rindunya pergi. Namun di
salah satu persimpangan, Hani melihat sepasang sejoli yang tengah tertawa-tawa
di bawah pohon mangga. Gadis itu berhenti sejenak. Mengamati wajah yang
dilihatnya, memastikan itu wajah yang dikenalnya. Cahaya bulan purnama
remang-remang menyinari kedua sosok itu, membuat Hani yakin bahwa itu memanglah
wajah yang ia kenal. Gadis itu tercengang.
“Astaghfirullah,
Kang Rizal?” Hani tertegun tak percaya.
Lelaki
yang dipanggil menoleh, tersentak tak berkutik. “Han… Hani…”
“Akang?
Apa yang sedang akang lakukan? Tengah malam begini, dengan wanita itu. Siapa
dia?”
“Pacarku.
Baru aja nih kita jadian, karena kamu gak mau diajak pacaran.” Jawab lelaki itu
dengan entengnya.
“Astaghfirullah.
Tapi kan akang tadi, tadii bilang…”
“Hani,
kamu pikir aku sabar nunggu kamu?”
“Bukan
nunggu aku. Nunggu kamu. Kamu kapan siapnya lamar aku?”
“Itulah.
Aku masih kuliah, kamu masih kuliah. Aku gak tau aku kapan siapnya lamar kamu.
Tapi kalau maunya kamu, kita gak berhubungan sampai aku siap bawa kamu ke
pernikahan, oke fix. Tapi aku juga anak muda, mamen!. Boleh doong, aku pacaran
dulu sama cewek lain yang lebih bohay. Tenang aja, buat dijadiin istri mah aku
cari cewek baik kaya kamu kok.”
“Astaghfirullahal
‘adziim. Udah, udah. Aku gak mau kenal sama akang lagi. Gak usah datang-datang
buat lamar aku. Aku gak mau punya imam kaya kang Rizal!” Hani mundur selangkah.
Sebelum ahirnya
“Tunggu,
Hani!.” Teriak kang Rizal. Namun seperti tak mendengar, Hani terus berlari,
hingga tubuhnya hilang di persimpangan jalan.
Di
persimpangan, Hani berhenti. Mengatur napasnya karena lelah, dan nyessek.
“Aaaah!”. Tiba-tiba sosok wanita muncul di depan Hani, membelakanginya.
“Aku
udah liat semuanya. Selamat, ya. Itu karma buat sahabat kaya kamu.” Serunya,
yang ternyata itu Rindu.
Hani
melongok. “Iya. Sekarang aku udah dapet karmaku.” aku Hani sambil masih kesusahan
mengatur napasnya. “Rizal lebih milih pacaran sama cewek itu, dan dia memilih
berhenti buat nunggu aku. Apa sekarang kita bisa temenan lagi? Rindu, jujur aku
gak ada niatan menyaingi kamu dapatkan lagi Rizalmu. Tapi kalau saat itu dia
lebih memilihku, apa aku salah?” lanjutnya membela diri.
“Tapi
kamu menawarkan pernikahan, kan? Apa artinya? Sahabat macam apa yang mencabik
hati sahabatnya sendiri?” tuding Rindu setengah berteriak.
“Untuk
memberitahukan padamu, kalau dia tidak bisa melakukannya. Tidak bisa setia.
Karena sejak awal aku sudah tau dia tak pernah serius dengan cintamu, Rindu.
Lalu apa bedanya denganku? Maunya dia itu cuma main-main. Cuma pacaran gak
jelas, tanpa ikatan suci yang sesungguhnya.”
“Halah,
bushit tau gak sih.” Cibir Rindu, membelakangi tubuh Hani.
"Rindu,
dia bukan lelaki baik. Dia bukan lelaki sholeh seperti yang kamu
bangga-banggakan, karena nyatanya dia lebih memilih pacaran, kan? Lelaki sholeh
yang pantas dijadikan imam rumah tangga kita itu bukan yang tetap memilih pacaran,
setelah dia tau kalau Tuhannya melarang itu. Bagaimana mungkin seorang lelaki
sholeh mencari wanita yang katanya nanti pasti akan dinikahinya untuk
bersama-sama melangkah di jalan Allah dan mencapai Surga-Nya, tapi dengan cara
pacaran, dengan cara yang Tuhan mereka sendiri melaknatnya? Bukankah itu
artinya di hatinya gak ada rasa takut sama Tuhannya? Bagaimana dia bisa
mencapai jalan Tuhannya, yang sebenarnya dia sendiri gak suka dengan jalan itu?
Allah bilang kan jangan pacaran, tapi dia tetap pacaran. Apa itu artinya taqwa?
Gak, Rindu. Dia bukan lelaki sholeh.” Jelas Hani.
Kepala
Rindu berputar, melirik mata teman lamanya itu. Ada gundukan bening yang
seperti tertahan di sana. Rindu berpaling kembali mengahadap Hani.
“Apa
kamu benar-benar percaya kalau karma itu masih berlaku, Hani?” tanyanya
kemudian.
Hani
cepat-cepat mengangguk. “Tentu. Aku percaya. Karma masih berlaku. Karma selalu
berlaku. Makanya hayyu kita sama-sama terus berbenah diri. Meskipun gelas kita
sudah tercampuri hitamnya kopi, tapi kalau gelas itu terus-menerus dituangkan
air mineral, meskipun tidak sebentar, lambat-laun, Insya Allah pasti hitam
kopinya akan hilang juga. Karma selalu berlaku, Rindu. Bahkan Allah sudah
berjanji dalam Quran-Nya, bahwa wanita baik hanya akan dipasangkan bersama
lelaki baik, dan sebaliknya. Janji itu pasti adanya, Rindu. Sebab Allah punya
banyak pengawal tak teraba mata, yang akan senantiasa menjagakan kado terindah
untuk hamba yang selalu berusaha istiqomah dalam taqwa kepada-Nya. Karma selalu
berlaku.” Ucap Hani tanpa ragu.
“Kamu
mau maafin aku, Hani?” Rindu mendekat, meminta.
“Tentu.
Balas Hani. Kedua sudut bibir dua wanita muda itu mulai mengembangkan
senyumannya.
“Kita
jadi bestfriend lagi, kan?.” Lagi-lagi Rindu meminta dengan penuh harap.
“Always.
Forever.” Sahut Hani sambil membentangkan kedua tangannya, yang segera disambut
Rindu dengan pelukan erat.
Maka,
rembulan tanggal 14 di atas sana menjadi saksi bisu tentang satu lagi indahnya
kisah pershabatan nan tulus dari dua anak manusia. Cahaya yang lembut mengguyur
tubuh keduanya. Dan milyaran gemintang yang terus menari-nari di bentangan
langit sana, turut meng-Aamiini janji persahabatan abadi mereka.
Ankasa.